: “Oh, Tuhan, di manakah Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasut-Mu dan menyisir rambut-Mu? Bolehkah aku mencuci baju-Mu dan membasmi kutu-Mu dan membawakan-Mu susu?…”
Bagi Musa, doa yang terlampau bergelora itu awal kekafiran: menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu adalah sikap yang kurang ajar.
Maka Musa berteriak: “Sumbat mulutmu dengan kain!…Kalau kau tak hentikan tenggorokanmu memuntahkan kata-kata seperti itu, api akan datang dan membakar orang-orang…”
Mendengar itu si penggembala berhenti berdoa. “Ah, Musa. telah kau bakar sukmaku dengan penyesalan…”.
Ia pun merobek gamisnya dan seraya nafasnya melenguh dalam, ia menengok ke ujung gurun dan dengan seketika pergi.
Di saat itu, demikian dikisahkan Rumi, Tuhan menegur Musa: “Telah kau pisahkan hamba-Ku dari Aku. Engkau datang untuk merukunkan, atau untuk meretakkan? Jangan kau memisah-misahkan; hal yang Aku benci adalah perceraian. Telah kuberikan kepada tiap orang bentuk ekspresi yang tersendiri…Aku tak tergantung pada kemurnian maupun najis, tak tergantung pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang”.
Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah gurun mengejar sang penggembala. Ketika mereka bertemu lagi, sang Nabi memberitahu kabar gembira itu: “Sudah datang perkenan Tuhan: kau tak perlu mencari aturan atau cara untuk sembahyang. Ungkapkan saja apa yang dikehendaki hatimu”.
Tapi — dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng Rumi ini — sang penggembala menjewab: “Ah, Musa, aku telah melampaui itu: aku kini tenggelam, berendam, dalam air mata tangisku.”
Sang penggembala tak hendak kembali ke dalam acuan Musa. Nabi itu tetap bertumpu pada “perkenan”, perizinan, sabda. Dengan kata lain: rumusan hukum. Sang penggembala lebih menyukai keakraban yang total dengan Tuhan yang dicintainya. Masnawi Rumi tampaknya menunjukkan bahwa Musa — yang dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima 10 AturanTuhan — tak memahami sepenuhnya apa yang dikatakan Tuhan: “Mereka yang memperhatikan aturan berbicara dan berperilaku adalah satu hal; mereka yang terbakar oleh cinta [kepada Tuhan] adalah hal lain”.
Sang penggembala tak mau menyerah kepada jalan yang dianggap linear: hukum. Ia memilih tinggal di gurun. Di tengah bentangan pasir dan batu karang itu, batas-batas tak jelas. Juga tak penting. Garis lurus bisa ditarik tanpa ada Barat atau Timur. Ke arah mana menghadap Tuhan? “Di dalam Kaabah,” tulis Rumi, “perlukah kepastian kiblat”?
Saya pernah membaca sebuah pembahasan yang menganggap gurun dalam bagian Masnawi ini sebagai sebuah kiasan yang penting ketika berbicara tentang iman — yang sering disederhanakan dan disebut sabagai “agama.”
Beberapa ratus tahun setelah Rumi, Derrida menampilkan lagi imaji itu. Dalam La Religion, ketika membahas pengalaman religius manusia, ia menyebut “gurun di dalam gurun”: ketika manusia mengalami secara total “ketiadaan”, ketika aku, dalam pengalaman mistis itu, seakan-akan hilang tanpa jejak, lebur dalam haribaan Yang Lain.
“Gurun di dalam gurun” itu, sebagaimana umumnya agama-agama, mengandung janji, pengharapan yang “messianik”: nun nanti di ufuk sana, di bawah kaki langit, ada yang Lain ke mana kita tabah dan tawakal akan sampai. Tapi janji itu tak bisa digambarkan lebih dulu. Ia mengisyaratkan sesuatu yang tak terhingga.
Bersama itu, “gurun di dalam gurun” itu juga khôra: “tempat” yang bukan tempat, sesuatu yang sama sekali beda dari apapun juga. Dengan kata lain, dalam iman selalu terkandung hal-hal yang tak bisa diringkas tapi memanggil kita untuk terus menerus mencari. Bersama itu pula kita mengenal dan menghargai apa yang mustahil namun bernilai — misalnya janji Keadilan yang akan datang.
Dengan demikian iman mengandung keberanian — yang umumnya pudar ketika diringkus jadi sebuah sistem dan ditertibkan dengan hukum-hukum yang menjaga jalan lurus. Dalam The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion Without Religion, John D. Caputo menggambarkan “agama” dalam pemikiran Derrida sebagai “sebuah iman tanpa dogma yang maju dengan risiko di dalam malam yang gelap pekat.”
Malam di gurun….
Jauh dari padang pasir, hidup di antara pantai kepulauan dan samudra, mungkin bagi kita lebih pas metafora lain untuk menggambarkan iman yang tanpa dogma: lautan. Iman yang tak dibatasi sistem adalah samudra yang merupakan kancah gerak yang tak penah berhenti. Arah hanya dikenal di bintang-bintang. Ombak seakan-akan itu-itu juga, tapi sesungguhnya senantiasa beda, berubah. Itu sebabnya lautan, yang menampung air dari pelbagai sungai, sebenarnya tak pernah bernama, sampai datang para penakluk dan pembuat peta.
Iman memang kemudian diberi label (“Islam”, “Kristen”, “Yahudi”, “Hindu”, dan sejenisnya). Ia diletakkan dalam sebuah peta. Tapi ibarat lautan, ia tetap mengandung risiko. “Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar,” tulis Rumi. “Tak seorang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam atau sampai ke pelabuhan.”
Dalam ketakpastian itulah keyakinan, atau iman, menyatakan diri. Itu berarti ia lebih kuat ketimbang konsep dan ajaran. “Berapa banyak lagi kalimat-kalimat, konsep dan kiasan? Aku inginkan api yang membakar, membakar, membakar” — Masnawi 2: 1760.
Oleh: Goenawan Mohamad