Oleh : Said Marikar, Sekretaris KNPI Kepulauan Selayar
Selayarnews.com – Demokrasi dalam pengertian umumnya,dapat kita pahami sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Untuk itu dapat juga kita maknai sebagai persamaan hak/ kesetaraan hak diantara tiap-tiap warga negaranya. Negara yang menganut paham demokrasi, sangat menjunjung tinggi dan menjaga hak-hak dasar setiap warganya. Olehnya itu,kebebasan berekspresi sangat dimungkinkan di negara ini sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia, salah satu bentuk kebebasan berekspresi dapat kita temukan dalam sistem Pemilihan Umum. Pada awalnya, pemilu hanya ditunjukkan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPRD. Namun setelah dilakukan amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan umum juga melingkupi pemilihan presiden yang pertama kali diadakan pada tahun 2004. Menyusul pada tahun 2007, pemilihan kepala daerah juga dimasukkan dalam agenda pemilihan umum, yaitu sejak diundangkannya UU No 22 thn 2007.
Dari fakta sejarah pemilihan umum di Indonesia, dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan pemilu telah mencapai titik kesempurnaannya. Partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak kebebasan berekspresi dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan telah mendapat kedudukannya, bahkan sampai ke daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan telah mengeksplorasi hak-hak dasar tersebut untuk bersama-sama merumuskan arah pemerintahan untuk mencapai kehidupan baik secara bersama-sama.
Tetapi, disamping kesempurnaan hak warga negara dalam ruang pemerintahan tersebut terdapat penyakit yang sangat kronis. Hak-hak politik warga negara sedikit demi sedikit tergerus oleh sikap-sikap instan para elite politik pun elite modal yang berjibaku dalam ranah politik. Sering kali dalam beberapa momentum demokrasi pemilihan umum, hak-hak tersebut dinilai dalam angka-angka dan nominal, suara-suara dibeli dengan uang atau biasa kita sebut money politic untuk mencapai nafsu para elite poltik. Sepintas kita melihat ini sebagai diskursus, kita bahkan menjadi ragu apakah ini politik ataukah bisnis. Wajah murni politik menjadi bias diantara sikap-sikap tidak berintegritas tersebut.
Yang menjadi parah adalah hasil dari simulasi ini. Tindakan money politic para elite akan mempengaruhi karakter bangsa dan pola-pola berfikir generasi muda. Perlahan-lahan kita akan menjadi biasa dan lumrah dengan money politic, lambat laun akan menjadi tindakan yang sah-sah saja. Dalam situasi seperti demikian, akan lahir monster yang mampu mengendalikan sistem dalam ranah politik. Bisa jadi satu komunitas, atau bahkan hanya satu orang saja. Jika demikian yang terjadi maka pertanyaannya, dimana kebebasan berekspresi kita sebagai warga negara dalam upaya ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan?
Maka sebagai generasi muda, dari awal sekali kita sudah wajib menyadari akan ancaman tersebut. Sebab, persoalan ini hanya akan mampu diselamatkan dalam gerakan-gerakan baru oleh pemuda yang belum terkontaminasi sisi hitam dunia politik. Maka tanggung jawab itu adalah tanggung jawab kita bersama sebagai generasi muda.
*****
DA