Selayarnews-Bangsa Indonesia hingga saat ini masih terus meramu demokrasi menuju penyempurnaan sebagaimana cita-cita Kemerdekaan.
Para pendiri bangsa, memilih “Demokrasi Pancasila” sebagai konsep demokrasi bernegara. Konsep ini merupakan satu-satunya di dunia, dari berbagai jenis demokrasi yang ada, dengan kerangka dasar musyawarah mufakat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Konsep ini pula yang melahirkan pemilu, bahwa arah kebijakan Bangsa Indonesia akan ditentukan berdasarkan suara dari rakyat melalui perwakilannya. Hal tersebut dilakukan dengan memilih pemimpin yaitu presiden dan wakil presiden dan Anggota DPR, hingga turunannya ke daerah melalui Pemilihan Umum.
Suara dari Rakyat
Dengan jumlah pemilih saat ini sebanyak 204,8 Juta maka tidak mungkin untuk dilakukan musyawarah mufakat, sehingga prinsip suara terbanyak/ Voting melalui pemilihan umum, menjadi pilihan yang paling masuk akal.
Suara bukan lagi seperti arti harfiahnya yang secara singkat diartikan sebagai “bunyi bahasa”, akan tetapi kemudian dapat dilihat melalui pencoblosan pada kertas suara yang merujuk pada pilihan personal setiap wajib pilih, kepada peserta pemilu yang akan mewakilinya di Legislatif maupun suara untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin negara atau daerah.
Dalam pergeseran makna yang ada tersebut kita menyadari ada perubahan. Namun kita masih bersepakat dan meyakini bahwa secara fundamental, pemilu dengan menjaring pilihan rakyat melalui kertas suara, adalah perwujudan dan manifestasi kedaulatan rakyat.
Tentu dengan harapan Wakil rakyat atau pemimpin yang terpilih dengan meraih suara terbanyak, akan mampu mendengar, memperjuangkan dan mewujudkan suara rakyat yang diwakilinya.
Pemilu menyiapkan ruang bagi para calon wakil rakyat untuk memperkenalkan diri, memperkenalkan program dan visi misinya melalui kegiatan kampanye.
Secara sederhana proses ini menjadi benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip kepemiluan. Dan kita menaruh harapan bahwa setiap momentum kepemiluan menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia manggapai cita-cita kemerdekaan.
Dalam perkembangannya, dinamika kemudian muncul ketika negara memberikan kewenangan, gaji dan tunjangan yang fantastis, fasilitas yang mewah yang secara langsung berdampak pada strata sosial bagi diri maupun keluarga kontestan Pemilu yang terpilih.
Tentu hal tersebut dinilai wajar, karena tuntutan dan tanggung jawab yang diemban, juga dinilai lebih besar dibandingkan warga biasa.
Hal tersebut menjadi lebih wajar, ketika saat terpilih sebagai wakil rakyat di pemerintahan maupun di legislatif, mereka memperjuangkan kepentingan rakyat, menyuarakan aspirasi dan mewujudkannya.
Akan tetapi, ketika kewenangan, gaji dan tunjangan yang tinggi, serta fasilitas mewah yang disiapkan negara, yang kemudian menjadi motivasi dan spirit dalam setiap kontestasi kepemiluan. Maka, hasil dari Pemilu tidak lain adalah orang-orang beruntung yang mampu mensejahterakan dan meningkatkan status sosial diri dan keluarganya, mengumpulkan harta dan uang.
Dalam kondisi ini output pemilu, akan melahirkan orang-orang dalam sistem oligarki yang menguasai sendi-sendi kehidupan mulai dari Politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan sektor lainnya. Hal ini menjadi “candu kehidupan” yang dapat memotivasi banyak pihak untuk menghalalkan segala cara agar terpilih.
Dalam perjalanan pemilihan umum, kita kemudian mengenal politik uang (money politics). Dimana oknum peserta pemilu atau pendukungnya, menggunakan uang untuk membujuk, merayu, serta memastikan agar pemilih, memilihnya dalam Pemilihan umum.
Kondisi ini lahir, karena perubahan paradigma yang berawal dari perubahan motivasi, dari wakil rakyat menjadi mesin oligarki. Tentu dengan prinsip dasar ekonomi, menggunakan modal dan sumberdaya sekecil mungkin dan mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya.
Mereka kemudian menggunakan mesin hitung, tentang modal yang digunakan dan hasil yang akan diperoleh saat terpilih. Dalam kondisi ini, pemilu tak lebih hanya seleksi calon orang kaya, calon pejabat, rapat hanya sekedar absen, tugas hanya sekedar untuk mencairkan tunjangan dan anggaran pendukung.
Rakyat yang telah menjual hak demokrasinya dengan memilih menerima “uang” dan mempengaruhi pilihannya, juga telah kehilangannya legitimasinya. Politik transaksional tersebut juga telah merubah esensi suara rakyat menjadi “suara uang” yang kemudian menghasilkan “Wakil Uang”.
Dalam Wikipedia, uang diartikan sebagai alat tukar yang dapat diterima secara umum. Maka “Wakil Uang” tak lebih dari perwakilan alat tukar yang diterima secara umum.
Hal ini tentu menodai amanah kekhalifahan manusia di Bumi, sebagai makhluk yang paling sempurna, dengan rasa, cipta, karsa dan moralitas kemanusiaan yang menyertainya.
(Redaksi Selayarnews)