Transaksi pelepasan hak atas tanah (HGB) antara pemegang hak, pengurus Yayasan Kesejahteraan Sumber Waras (YKSW) seluas kurang lebih 3 ha dan Pemda DKI pada tanggal 17 Desember 2014 telah mengundang perhatian/ sorotan masyarakat luas dan telah dipersoalkan dan menjadi topic diskurus di ILC.
Sorotan masyarakat khususnya terhadap proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum di mana Wakil Gubernur DKI ketika itu, Basuki Tjahaya Purnama (BTP) telah berinisiatif untuk melakukan transaksi tersebut dengan nilai ganti rugi/kompensasi sebesar Rp 20 juta per m2 sehingga total kompensasi/ganti rugi sebesar Rp 755 milyar. Proses pengadaan tanah didasarkan pada Pasal 121 Perpres Nomor71/2012 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 40 tahun 2014. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk pengadaan tanah di bawah 5 ha dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah/pemda DKI dengan pemegang hak atas tanah dengan cara tukar menukar atau jual beli atas dasar kesepakatan.
Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan kedalam petunjuk teknis Menteri/Kepala BPN dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 5 tahun 2012 yang telah diubah dengan Nomor 6 tahun 2015, dan dalam Pasal 53 ayat (3) dinyatakan bahwa pengadaaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil di bawah 5 ha untuk efisiensi dan efektivitas dapat dilakukan tanpa melalui tahapan sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Dilihat dari sudut sistem peraturan perundang-undangan dalam UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas bahwa bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang mengaturnya (Payung hukum) sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (3) jelas menjadi batal demi hukum dan dapat diajukan uji materi kepada Mahkamah Agung RI. Namun jika merujuk pada judul Peraturan Menteri/Kepala BPN Nomor 6 tahun 2015, jelas bahwa kekecualian dari tahapan pengadaan tanah di dalam UU RI Nomor 2 tahun 2012 hanya sebatas pada proses pelaksanaan pengadaan tanah karena Pasal 13 UU RI Nomor2 tahun 2012 mengakui 4 (empat) tahap penyelenggaraan pembangunan pengadaan tanah untuk kepentingan umum: perencanaan, persiapan, pengadaan, dan penyampaian hasil pengadaan tanah; dengan kata lain kekecualian yang ditentukan di dalam Peraturan Menteri/Kepala BPN hanya untuk satu tahapan saja yaitu pelaksanaan pengadaan tanah, tidak untuk seluruh tahapan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kekeliruan tafsir hukum atas Pasal 121 UU Nomor 2 tahun 2012 dan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri /Kepala BPN tentang PETUNJUK TEKNIS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM, telah mengakibatkan munculnya pendapat yang menyesatkan bagi Gubernur DKI, BTP.
Temuan BPK RI dari hasil pemeriksaan atas Pemprov DKI Tahun 2014 telah menunjukkan kurang lebih 10 (sepuluh) pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diabaikan; namun kemudian Pemprov DKI justru telah melengkapi document tersebut dan terjadi setelah dilaksanakan transaksi pelepasan hak atas tanah tanggal 17 Desember 2014. Pembuatan dokumen pengadaan tanah dan pembentukan tim pengadaan tanah dan SK Gubernur DKI tentang penetapan lokasi serta Peraturan Gubernur DKI tentang Penetapan NJOP untuk Perkotaan dan Pedesaan di wilayah Pemprov DKI telah dibuat tanggal mundur (back-date). Pembuatan tanggal mundur (back-date) sesungguhnya bentuk koreksi atas kekeliruan tafsir hukum atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan di atas dan sekaligus pengakuan (secara diam-diam) Pemprov DKI atas kesalahan kebijakan yang telah melangkahi tahapan persiapan dan perencanaan serta penyampaian hasil pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan UU RI Nomor 2 tahun 2012. Isu utama dari kronologis fakta transaksi pelepasan hak atas tanah aquo adalah apakah pemprov DKI telah melakukan perbuatan melawan hukum?
Perbuatan melawan hukum dalam doktrin hukum adalah, perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan tujuan dari mandat yang telah diberikan oleh undang-undang. Transaksi pelepasan hak atas tanah per tanggal 17 Desember 2014 adalah sah dan merupakan bukti otentik yang mengikat pihak pengurus YKSW dan Pemprov DKI baik mengenai hak maupun kewajiban yang tercantum di dalam akta notaris nomor 37 tahun 2014 dilihat dari sudut hukum perdata- hukum Perikatan; namun dari sudut hukum pidana, tidak demikian karena hukum pidana selalu menggali fakta hukum untuk menemukan kebenaran materiel-kebenaran sesungguhnya sehingga terjadi transaksi pelepasan hak atas tanah. Kebenaran materiel yang dimaksudkan dalam hukum pidana adalah kebenaran prosedur transaksi pelepasan hak atas tanah tersebut. Pasal 53 ayat (4)) Peraturan Menteri/Kepala BPN Nomor 6 tahun 2015 justru tetap mensyaratkan dokumen pendukung atas setiap transaksi pelepasan hak atau pembelian tanah untuk kepentingan umum sebanyak 11(sebelas) dokumen.
Pertanyaan mengenai adakah perbuatan melawan hukum dalam transaksi pelepasan hak atas tanah pengurus YKSW kepada Pemprov DKI terkait dengan adakah niat baik pemprov DKI dalam proses transaksi tersebut. Niat baik akan dengan sendirinya dan seharusnya terdapat pada setiap langkah kebijakan setiap pejabat publik dan seharusnya tidak perlu diragukan banyak pihak. Namun pertanyaannya mengapa dalam transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW kepada Pemprov DKI dilaksanakan dengan cara melanggar prosedur tahapan yang telah ditentukan di dalam UU RI Nomor 2 tahun 2012 sedangkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang aquo hanya memberikan kekecualian mengenai objek luas tanah dan pola transaksional antara pemegang hak atas tanah dan pemerintah/pemda; bukan mengenyampingkan seluruh ketentuan tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam hubungan ini, peraturan presiden dan peraturan menteri/kepala BPN terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dapat digolongkan sebagai lex specialis yang dapat mengenyampingkan suatu UU dalam objek yang sama karena karakter lex specialis hanya berlaku dari bentuk peraturan perundang-undangan yang sejenis, seperti Undang-undang Tipikor atau Undang-undang TPPU terhadap KUHP atau KUHAP. Perubahan ketentuan Perpres dan PerMen/Kepala BPN tidak dapat digolongkan sebagai lex posteriori derogate lege priori karena perpres dan permen/ka BPN merupakan perubahan ketentuan bukan pembentukan undang-undang baru dalam objek yang sama. Perubahan ketentuan dalam perpres dan permen/ka BPN bukan pula termasuk ketentuan yang meragukan sehingga harus digunakan yang menguntungkan bagi terdakwa karena, pertama, ketentuan perubahan dimaksud tidak mengakibatkan keragu-keraguan tafsir hukum (in dubio pro reo) melainkan penegasan lebih jauh mengenai ketentuan transaksi terkait hak atas tanah untuk kepentingan umum di bawah 5 ha, dan kedua, konsep hukum in dubio pro reo bukan kompetensi penyelidik atau penyidik atau penuntut melainkan kompetensi hakim di dalam menilai penerapan hukum terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
BPK RI telah menemukan 6 (enam ) penyimpangan dalam proses transaksi pelepasan hak atas tanah antara pengurus YKSW dan Pemprov DKI yang tercantum dalam akta notaris nomor 37 tahun 2014 tertanggal 17 Desember 2014. Dilihat dari bulan dan tahun transaksi pelepasan hak atas tanah HGB pengurus YKSW kepada Pemprov DKI ternyata HGB berakhir pada tahun 2018 di mana tanah dimaksud akan diserahkan kembali kepada Pemprov DKI. Dilihat dari nilai transaksi tanah tersebut, ternyata pemprov DKI juga memiliki tanah dengan NJOP jauh di bawah NJOP tanah YKSW yaitu di cempaka putih. Dilihat dari tenggat waktu selesainya HGB menjadi pertanyaan mengapa Pemprov DKI terburu-buru melaksanakan transaksi hanya untuk tujuan membangun rumah sakit kanker terbaik di Indonesia dan Asia sedangkan dalam kenyataannya, pasca transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW, sampai saat ini masih dikuasai oleh pengurus YKSW dengan segala keuntungan yang diperoleh dari RS SW tersebut, sekalipun dalam akta notaris nomor 37 tgl 17 desember 2014 tidak terdapat ketentuan mengenai perpanjangan hak atas tanah bagi pengurus YKSW seketika transaksi disepakati para pihak.
Andhi Nirwanto (2016), dalam bukunya, “Asas Kekhususan Sistematis”; telah mengemukakan bahwa sifat melawan hukum dari suatu perbuatan dalam transaksi bisnis, setidaknya terdapat kecurangan (deceit), penipuan (fraud), pemalsuan (forge), manipulasi atau akal-akalan.
Kesimpulan atas pertanyaan apakah telah terjadi perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam kebijakan pemprov DKI dalam transaksi pelepasan hak atas tanah HGB Pengurus YKSW kepada Pemprov DKI, terpulang kepada pembaca.