Oleh Osella
Seorang Aktifis Pendidikan
Selayarnews.com – Pada suatu sore yang bercahaya saya menanyai beberapa anak-anak yang sedang bermain: Siapa yang pernah tinggal kelas di sini? Beberapa anak mengaku pernah tinggal kelas, bahkan ada yang dua kali, dan berujar jika dia tinggal kelas lagi dia akan berhenti sekolah.
Saya membayangkan perjalanan mereka menempuh lokasi sekolah yang jauh. Semangat mereka begitu tinggi, tetapi sekolah menanggapinya dengan justice: tinggal kelas. Anak-anak itu juga melaporkan kepada saya tentang perilaku guru-gurunya yang suka mengancam: jika kalian ribut, kupa-antangiko!
Zaman telah melaju meninggalkan kita yang masih terus merangkak. Sekolah-sekolah tempat kita belajar tentang masa depan nyaris tak pernah menampakkan perubahan signifikan, digerogoti konglomerasi para cukong di bidang pendidikan yang merujuk ke masa lalu. Proyek sertifikasi untuk menciptakan guru-guru profesional melalui pelatihan yang menguras kantong negara tak jua menunjukkan hasil. Sekolah-sekolah kita tetap memelihara tradisi masa lalunya sebagai kumpulan institusi yang dihuni guru-guru bertopi baja (konservatif behavioristik). Output proyek tersebut hanya menghasilkan pribadi-pribadi hedonistik yang terus menumpuk.
Proyek itu menghabiskan dana besar, menguras energi, menelantarkan anak didik, dan tidak menghasilkan apa-apa selain status sosial-ekonomi yang melejit melampaui kemampuan intelektual dan kepedulian terdalam para penikmatnya. Ibarat kastil masa lalu yang berpenghuni raja-raja penindas bermahkotakan emas, sekolah bermetamorfosis menjadi kastil-kastil megah yang menakutkan.
Sekolah bukan saja tak berguna sebagai gugus depan pembaharuan sosial, sekolah juga nyatanya menjadi penjaga gerbang utama status quo. Saat ini sekolah diprogram untuk menghasilkan para produsen-konsumen yang patuh, yang kemudian akan melayani dan mendukung sebuah sistem kontrol sosial yang menindas.
Sebuah lembaga persekolahan akan tetap menjadi alat kekuasaan otoriter apabila didominasi kelompok tertentu. Berbagai benturan mutasi penyelenggara negara, termasuk guru-guru, menyatakan ketidakmampuan kita meninggalkan tradisi oligarki diskriminatif. Penyimpangan atau ketidakjujuran menjadi hal yang dibenarkan dalam sekolah-sekolah kita. Oleh sebab itu, sistem pendidikan kita yang selalu diubah setiap saat tidak akan mengalami kemajuan tanpa perubahan tradisi.
Tradisi Tinggal Kelas
Manusia secara alamiah adalah baik. Kekuasaan negara (aparatur: guru, pejabat, sistem, tradisi) yang membuat manusia menjadi jahat. Negara yang terus merampas hak anak didik untuk menerapkan bakat-bakat mereka yang alamiah ke arah penentuan nasib secara rasional. Negara yang menyiksa warganya dalam kubangan pola pikir kotor, karena sejumlah sekolah menganut tradisi tinggal kelas sebagai sistem terbaik. Tradisi yang sengaja kita bangun dengan berbagai alasan.
Alat-alat negara menyebar ke seluruh pelosok tempat rakyat lemah (mental dan nalar) menjalani hidupnya. Sekolah-sekolah terpencil, lembaga-lembaga sosial yang bernaung di bawah negara ikut meramaikan pembantaian atas pikiran bebas manusia. Anak-anak yang baru tumbuh dicap bodoh, pembangkang, nakal, stress, saat mereka tidak menunjukkan kepatuhan kepada budaya mainstream. Sementara pembabat hutan dan perusak laut tumbuh subur mendendangkan kebebasan.
Bagi masyarakat kita tujuan dibentuknya sekolah adalah mempermulus jalan raya penindasan atas rakyat dan lingkungannya. Para tokoh-tokoh yang berhasil menyelesaikan sekolahnya menjadi agen pemaksa, perampas, dan memiliki kekuatan berbuat licik. Sekolah-sekolah diadakan untuk mencetak pemuja kekuasaan (pegawai negeri) dan robot-robot (pekerja pabrik) sebanyak-banyaknya. Berbagai fakta mengatakan kepada kita bahwa agen-agen negara tersebut sangat fatalistik, tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali. Mereka tidak memihak publik sosial tempat mereka hidup dan dilahirkan. Mereka cenderung membela para penindas.
Tradisi tinggal kelas adalah sebuah bentuk penindasan tertua dan terkuat dari berbagai bentuk penindasan yang ada di negeri ini. Sekolah yang berfungsi sebagai patron pendidikan masyarakat mengotori setiap dimensi tatkala tradisi ini masih menguasai kita. Anak didik yang tinggal kelas, umumnya nilai mereka rendah atau di bawah standar. Orientasi angka pada sistem penilaian sebuah sekolah mematangkan kultur materialisme pada lingkungan sekolah. Manusia tidak bisa diukur dengan angka-angka yang sama dan terbatas.
Konseptualisasi yang mentradisi tersebut, diperkuat dalam berbagai pelatihan guru, yang disupport oleh kurikulum yang selalu berubah. Sebuah bukti terkini bahwa persekolahan kita masih berada dalam tahap kegamangan yang kian memuakkan.
Terlepas dari berbagai persoalan yang memamerkan kekurangan sekolah-sekolah dan guru-guru kita, yang paling penting kita lakukan adalah memertahankan komitmen pengabdian tanpa keluhan, mempraktikkan cara mengajar inovatif, dan berjuang menjauhi tradisi tinggal kelas.
Sejumlah sekolah di daerah kita ini masih berkubang dalam tradisi ini sementara para pendidiknya semakin banyak yang ‘diprofesionalkan’. Jika tradisi itu terus dipertahankan, maka dapat dipastikan bahwa proyek pembodohan telah demikian kuat mengalir dalam darah kebudayaan kita.
Benteng, 27 April 2017.
Penulis adalah aktivis pendidikan.