Selayarnews– Tradisi peringatan Maulid Nabi yang dahulu berkembang pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir, kemudian menyebar ke berbagai negeri Islam hingga ke Nusantara, kini terus hidup dalam wujud khas di berbagai daerah. Sebagaimana yang digelar hari ini di Dusun Jenekikki, Desa Bungaiya, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayr, warga melaksanakan tradisi Anruntung dalam rangka menyambut 12 Rabiul Awal 1447 H, yang bertepatan dengan 05 September 2025 besok.
Dalam tradisi ini, setiap rumah tangga membawa makanan dari kediaman masing-masing untuk kemudian dikumpulkan di masjid. Hidangan yang beragam itu lalu dinikmati bersama-sama oleh seluruh warga setelah prosesi doa dan zikir selesai.
Tradisi Anruntung bukan hanya sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga menjadi ruang silaturahmi yang mempererat hubungan antarwarga. Dengan berbagi makanan, masyarakat merasakan semangat kebersamaan dan nilai gotong-royong yang diwariskan turun-temurun.
“Setiap tahun kami selalu menggelar Anruntung. Tradisi ini rutin dilakukan, membuat suasana lebih akrab, semua duduk bersama, mendengarkan pembacaan Batzanji, bersholawat, berdoa, tanpa memandang perbedaan,” ungkap Deng Ahmad, salah seorang warga Jenekikki.
Sejak dahulu, masyarakat Tanete dikenal melaksanakan peringatan Maulid Nabi dengan cara unik ini. Berbagai sajian khas seperti ketupat, pisang, tebu, telur, dan kue tradisional Te’re biasanya digantung di masjid untuk kemudian diperebutkan setelah doa dan pembacaan Barzanji. Prosesi perebutan itulah yang disebut Anruntung, yang diyakini membawa keberkahan sekaligus menjadi simbol persaudaraan.
Tradisi serupa dalam bentuk yang berbeda juga dijumpai di berbagai daerah Nusantara. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masyarakat Sasak merayakan Maulid Adat Bayan dengan membawa hasil bumi ke masjid untuk kemudian disantap bersama. Di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau memiliki tradisi Bajamba, yakni makan bersama dalam satu wadah besar di surau atau masjid. Meski berbeda cara, keduanya memuat makna yang sama dengan Anruntung: menghadirkan Maulid Nabi sebagai momentum berbagi rezeki, mempererat silaturahmi, serta meneguhkan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika ditarik lebih jauh, akar tradisi seperti Anruntung berhubungan dengan perkembangan perayaan Maulid dalam sejarah Islam. Catatan sejarah menyebut, pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir sekitar abad ke-10, Maulid Nabi mulai diperingati secara resmi dengan doa, zikir, pembacaan riwayat Nabi, serta pembagian makanan kepada masyarakat. Tradisi itu kemudian menyebar ke berbagai negeri Islam, termasuk Nusantara, dan berakulturasi dengan budaya lokal.
Di tanah air, para ulama dan wali menjadikan peringatan Maulid sebagai sarana dakwah sekaligus pengikat kebersamaan umat. Dari sinilah lahir tradisi khas di berbagai daerah, seperti Maudu’ Lompoa di Takalar, Grebeg Maulud di Jawa, hingga Anruntung di Tanete. Esensi yang terkandung tetap sama, yakni meneguhkan kecintaan kepada Rasulullah SAW, menebarkan semangat berbagi, serta memperkuat persaudaraan.
Kebersamaan sederhana di Dusun Jenekikki ini menjadi bukti bahwa peringatan Maulid Nabi tidak hanya dimaknai sebagai ritual ibadah, tetapi juga cermin kuatnya persatuan, kekompakan, dan warisan budaya religius yang masih dijaga hingga kini.
(Rr/Red)























