Selayarnews– Tagihan pajak dengan jumlah fantastis di Kepulauan Selayar menjadi sorotan. Pasalnya, seorang pengusaha asal Selayar mendapat tagihan sebesar Rp 5,6 Miliar.
Sebagaimana termuat di beberapa Media, Kejadian ini bermula ketika pengusaha bernama Heryanto mengajukan permohonan wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak di Benteng, Selayar pada tahun 2017.
Hal itu dilakukan karena permintaan perusahaan di Makassar yang mewajibkan Heryanto untuk mengurus keterangan wajib pajak sebagai syarat penjualan hasil bumi dalam bisnis yang digelutinya.
Namun tagihan yang ia terima dari Kantor Pelayanan Pajak Selayar tidak sesuai dengan apa yang ia ajukan sebagai pengusaha pajak.
Kasus tagihan pajak bernilai fantastis itu, sontak menuai komentar dari berbagai pihak. Salah satunya pengacara yang menggeluti bidang kepailitan.
Umar Azmar MF, pengacara yang malang melintang menangani kasus kepailitan di Sulsel menganggap bahwa banyak penyebab sehingga tagihan pajak perusahaan membengkak. Salah satunya ialah perusahaan yang enggan melaporkan aktivitas usahanya ke KPP.
“Lumayan banyak kasus begini di dua hingga empat tahun terakhir, di banyak kasus biasanya memang karena tagihan yang menumpuk, ditambah denda. Banyak yang jadi sebab, tergantung aktivitas perusahaannya,” kata Umar saat dihubungi Selayar News, Selasa (8/3).
Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Cabang Bone itu juga menyampaikan upaya yang bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan ialah dengan mengajukan “Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
“Dalam UU HPP itu ada Tax Amnesty jilid II, cuman namanya sekarang beda, yaitu Program Pengungkapan Sukarela. Itu berlaku untuk perusahaan yang pada tahun anggaran, ikut dalam program PPS. Kalo baru mau ikut, tidak bisa, hanya bisa untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP),” imbuhnya.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/2021 tentang Teknis Pelaksanaan PPS Wajib Pajak, yang ditetapkan pada 22 Desember 2021, dan telah diundangkan sehari setelahnya.
Dikutip dari Bisnis, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor menyebut PMK tersebut merupakan aturan pelaksanaan PPS sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Terbitnya PMK 196/2021 membuat PPS siap berlaku selama enam bulan, yakni 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. (AJ)























