Aditorial Redaksi
Selayarnews– Harga emas Antam kembali mencetak rekor baru setelah tembus Rp2.105.000 per gram pada perdagangan hari ini, Senin (17/09). Angka tersebut menegaskan lonjakan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, dari sekitar Rp777.000 per gram pada tahun 2020. Emas yang selama ini dipandang sebagai aset lindung nilai, kini menjadi cermin paling gamblang untuk menilai daya beli masyarakat di tengah klaim pemerintah bahwa inflasi terkendali.
Kenaikan emas memang dipicu banyak faktor global, mulai dari ketegangan geopolitik, ancaman resesi, hingga keputusan suku bunga bank sentral dunia. Namun di balik faktor makro itu, yang paling terasa adalah bagaimana nilai uang masyarakat sehari-hari semakin menyusut ketika diukur dengan emas.
ASN sebagai bagian dari tulang punggung birokrasi negara bisa dijadikan contoh konkret. Pada 2020, seorang ASN golongan III/a dengan gaji pokok sekitar Rp2,57 juta masih bisa membeli 3,3 gram emas setiap bulan. Lima tahun berselang, dengan gaji yang naik menjadi Rp2,78 juta, justru daya belinya amblas hingga hanya mampu membeli 1,3 gram emas. ASN golongan II/a mengalami penurunan dari 2,6 gram menjadi hanya 1 gram, sementara pejabat golongan IV/e yang dulu sanggup membeli 7,6 gram kini hanya 3 gram.
Fakta ini memperlihatkan ironi: pemerintah sudah menaikkan gaji ASN dua kali dalam dua tahun terakhir, 12 persen pada 2024 (untuk pensiunan) dan 8 persen pada 2025. Namun, kenaikan itu terasa nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan kenaikan harga emas yang lebih dari 170 persen dalam kurun yang sama.
Dan bukan hanya emas. Bila kita turunkan ke kebutuhan paling mendasar rakyat, beras juga mencatat kenaikan yang tidak kalah memberatkan. Pada tahun 2020 harga beras medium masih berada di kisaran Rp10.500 per kilogram. Kini, lima tahun kemudian, harga rata-rata sudah menembus Rp15.500 hingga Rp16.000 per kilogram. Kenaikan sekitar 50 persen ini mungkin terdengar lebih rendah dari emas, tetapi justru lebih menyiksa, karena beras adalah makanan pokok yang tak bisa digantikan.
Dengan gaji pokok Rp2,57 juta pada 2020, seorang ASN golongan III/a bisa membeli sekitar 245 kilogram beras setiap bulan. Namun pada 2025, dengan gaji Rp2,78 juta, jumlah beras yang bisa dibeli turun menjadi hanya sekitar 174 kilogram. Artinya, daya beli riil terhadap kebutuhan pokok pun merosot lebih dari 29 persen.
Fenomena ini menjadi potret nyata bahwa ukuran inflasi versi makroekonomi tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi riil masyarakat. Statistik resmi mungkin mencatat angka inflasi 2,5–3 persen per tahun, tetapi rakyat dan ASN merasakan hal yang berbeda di pasar. Lonjakan harga emas dan beras membuktikan bahwa uang semakin kehilangan nilainya, sementara kesejahteraan semakin tergerus.
Redaksi Selayarnews menilai bahwa situasi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya Menteri Keuangan yang baru. Kenaikan gaji ASN tidak boleh sekadar menjadi angka nominal di atas kertas, tetapi harus menjawab persoalan nyata di lapangan: mampukah gaji itu menjaga kesejahteraan keluarga ASN di tengah harga kebutuhan yang terus naik?
Sudah saatnya kebijakan penggajian dihubungkan bukan hanya dengan angka inflasi, tetapi juga dengan harga-harga riil yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, mulai dari beras hingga emas. Dengan begitu, kesejahteraan ASN sebagai abdi negara dapat benar-benar terlindungi, dan pada saat yang sama menjadi cermin kesejahteraan rakyat yang mereka layani.
Di tengah tantangan global, harapan kini bertumpu pada kebijakan Pemerintah agar mampu menghadirkan formula yang lebih berpihak pada daya beli. Tanpa langkah berani, kesejahteraan ASN hanya akan menjadi ilusi, sementara nilai uang terus tergerus dan rakyat semakin sulit mengejar harga-harga yang berlari jauh di depan. *























