Oleh : Muh. Nur Fajri Ramadhana M.K, S.Pd.
Selayar merupakan salah satu daerah yang terpisah dari daratan Sulawesi Selatan akan tetapi dalam perjalanan Sejarah pulau ini sudah melahirkan beberapa tokoh penting yang mengisi panggung nasional seperti Tanri Abeng mantan Menteri BUMN Pertama pada era Orde Baru. Tentu saja masih ada lagi sosok yang lebih dulu berkiprah dikancah nasional sebelum Tanri Abeng.
Sosok itu bernama Laksmana Madya (TNI AL) Mursalin Daeng Mamangung, lahir di Selayar 22 November 1922, meskipun tidak banyak tercatat dalam narasi sejarah nasional, beliau adalah pejuang dari Sulawesi Selatan yang memimpin rakyatnya melawan penjajahan dengan keberanian dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Ia bukan hanya seorang pejuang bersenjata, tapi juga seorang pemimpin moral yang menginspirasi rakyat melalui keteladanan hidup, bukan sekedar lewat kata-kata.
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia ia pun sudah lalui mulai dari Penjajahan hingga kemerdekaan. Dalam tulisan Petrik Mantanasi menerangkan kiprah Jenderal bintang dua Angkatan Laut pada masa revolusi awal kemerdekaan.
Setelah NICA (Netherlamds Indies Civil Administration) Belanda membuat kantor di Palopo dan tentara KNIL (Koninklijk Netherlands Indisch Leger) berlaku kejam, pada tahun baru 1946. Kedatuan Luwu yang berpusat di Palopo merupakan daerah yang disegani kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar di masa lalu. Meski jauh dari Jakarta, Datu Luwu Andi Djemma merupakan raja yang mendukung Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Andi Djemma setidaknya dibantu oleh M. Yusuf Arief, kepala polisi yang punya banyak pengikut.
M. Yusuf Arief menyusun serangan umum para pejuang yang bergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Tanggal 22 Januari 1946 keadaan kota Palopo sunyi senyap. Penyingkiran besar-besaran dari wanita-wanita dan anak-anak menuju ke luar kota, terbanyak ke pulau Libukang (sebuah pulau di depan pelabuhan Palopo). Catat Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan- Pahlawannya Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum serangan besar terjadi, Yusuf Arief berusaha memperkuat barisannya. Tujuannya agar para pemimpin PRI di Luwu dan pasukannya tidak ragu-ragu dalam menyerang tentara Belanda di waktu yang ditentukan. M. Yusuf Arief memerintahkan kepada Mursalin Daeng Mamangung untuk menyamar menyerupai Bung Tomo dengan berselimut kain putih di bawah pohon beringin yang besar di samping Istana Palopo, supaya berpidato untuk membakar semangat, terang Lahadjdji.Pada masa Revolusi Nasional. Ia juga berperan sebagai kurir membawa surat Dato’ Suppa ke Presiden Soekarno di Yogyakarta dan ikut melarikan diri dari tahanan NICA dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Manai Sophiaan di Sulawesi Selatan, serta terlibat dalam pertempuran melawan tentara Belanda di Palopo, pertempuran pun terjadi. Setelah itu tentara Belanda bertindak semakin keras di Sulawesi Selatan setelah 1946. Meski gagal merebut seluruh Luwu dari Belanda, Mursalin dan banyak pejuang terus melawan tentara Belanda. Sebelum terjadi pertempuran itu, Mursalin sudah melanglang buana ke banyak tempat.
Dalam tulisan dari Pieter Mantanasi juga mengisahkan pengalaman Ayah aktor Sophan Sophiaan dalam buku berjudul “Manai Sophian, Apa yang masih teringat”, Manai Sophiaan yang punya kenangan dengan Mursalin. “Dengan mengendarai truck serobotan, saya dikawal oleh Mursalin Daeng Mamangung pergi ke Bone untuk menemui Lanto Daeng Pasewang dan A.N. Hadjarati untuk membuat rencana-rencana berhubung dengan perkembangan situasi baru,
Mursalin lalu menyeberang ke Jawa dan bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Jawa Timur. Ia sempat memimpin satuan gerilya di daerah Kepanjen, Malang dan Blitar, Jawa Timur.Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, Mursalin terus menjadi perwira ALRI. Ia pernah menjadi komandan kapal RI Enggano, RI Djangan, dan RI Flores, kemudian sempat menjadi perwira di RI Dewa Rutji. Pada 1959, ia pernah sebentar menjadi perwira staf pribadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) lalu komandan dari Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD).
Setelah Laksamana Subijakto tidak menjadi KSAL lagi, Mayor Mursalin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dari 1960 hingga 1965. Dari mayor, dalam hitungan empat tahun, ia telah melalui pangkat letnan kolonel, kolonel, lalu di tahun 1964 menjadi komodor setara laksamana pertama. Masuk menyelami dunia politik Mursalim menjadi wakil ketua DPR-GR. Ia sebagai wakil dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sejak 15 November 1965 hingga 6 Juni 1966. Ia sempat dua minggu, dari 2 Mei hingga 17 Mei 1966, menjadi pejabat ketua DPR-GR ke-4, menggantikan Arudji Kartawinata dan kemudian digantikan oleh Idham Chalid . Setelah itu, Presiden Soeharto menunjuknya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Pembangunan I, menjabat sejak 6 Juni 1968 hingga 28 Maret 1973, di mana ia meneruskan kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan di masa transisi Orde Baru .
Rosihan Anwar dalam Semua Berawal dengan Keteladanan yang sempat menghadiri acara pernikahan emas (50 tahun) Mursalim dan Eangdjariah pada 3 September 2000, menyebut Mursalin pernah menjabat duta besar di Rumania. “Secara politis ia pengikut Sukarno dan dekat PNI. Dengan saya ia bersama-sama dalam pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI),” kata Rosihan.Ketika Letnan Jenderal KKO Hartono, mantan Komandan Jenderal KKO (Marinir) yang didutabesarkan di Korea Utara, ditemukan meninggal dunia pada Januari 1971, Laksamana Muda Mursalin termasuk orang yang mendatangi tempat kejadian dan bertemu beberapa anggota keluarganya.Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Kala itu, Mursalin juga menjadi saksi perubahan dari era Sukarno ke Orde Baru yang didominasi Angkatan Darat. Banyak perwira tinggi ALRI mencela sikap “terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat” dalam menumbangkan Sukarno.
Diantara kenangan kolektif masyarakat Kepulauan Selayar kala itu yang dituturkan oleh salah satu dosen di Makassar, satu momen yang tak mudah dilupakan adalah kedatangan Mursalin Daeng Mamangun, seorang tokoh nasional asal Selayar, yang pernah menduduki jabatan penting di tingkat negara. Momen ini terjadi sekitar tahun 1968, saat beliau pertama kali kembali ke tanah kelahirannya setelah menjabat sebagai Pejabat Tinggi Negara. Ia mendarat di Lapangan Pemuda Benteng dan disambut langsung oleh Pemerintah Kabupaten Selayar.

Yang paling membekas bukan sekadar penyambutan resmi, melainkan sikap rendah hati dan kesederhanaan beliau. Ketika hendak diantar ke kampung halamannya di Bontokorong dengan pengawalan poreider dan aparat kepolisian, beliau menolak secara halus. “Untuk apa saya dikawal dengan poreider, na saya ini mau pulang kampung,” ujar beliau, seolah ingin menegaskan bahwa kunjungan ini bukan tugas kenegaraan, melainkan silaturahmi seorang anak daerah yang rindu kampung halaman.
Meski begitu, pengamanan tetap dilakukan secara ketat. Bahkan, menurut cerita warga, rumah orang tua beliau yang berupa rumah panggung dijaga ketat oleh polisi yang berjaga hampir di setiap tiangnya sepanjang malam. Sementara itu, di atas rumah, suasana jauh dari formal. Mursalin Daeng Mamangun asyik bermain domino bersama keluarga dan warga hingga menjelang Subuh, membaur tanpa sekat, yang juga menggugah hati adalah sambutan emosional dari para ibu-ibu yang kala itu sedang berjualan di Pasar Benteng. Begitu tahu bahwa yang datang adalah putra daerah yang mereka banggakan, mereka meninggalkan dagangan mereka dan berlari menuju Lapangan Pemuda. Meskipun sempat dihalangi oleh aparat, beliau meminta agar mereka dibiarkan masuk. Satu per satu mereka bersalaman, memeluk, bahkan mencium beliau. Beliau hanya tersenyum lebar, bahagia menerima kasih sayang tulus dari masyarakat yang mengenal dan mencintainya.
Momen itu bukan sekadar tentang seorang pejabat pulang kampung, melainkan tentang kehangatan, kerendahan hati, dan hubungan batin antara seorang tokoh dan tanah kelahirannya. Sebuah potret langka dari seorang pemimpin yang tak pernah lupa darimana ia berasal.
Mursalin Daeng Mamangun menunjukkan bahwa kepemimpinan nasional tak harus lahir dari pusat kekuasaan. Ia membuktikan bahwa perjuangan dari daerah pun bisa membawa perubahan pada skala nasional. Dalam konteks desentralisasi hari ini, warisan semangat ini bisa menjadi inspirasi bagi pemimpin daerah untuk tetap bersuara dalam ranah nasional tanpa kehilangan akar budayanya.
Dokumentasi Bapak Mursalin Daeng Mamangung diambil dari FB Bapak Eros Lassa Mursalin.
****























