Oleh: Andre Suardi Piongdjongi
Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa hilirisasi kelapa Indonesia mampu menghasilkan devisa hingga Rp 4.800 triliun sempat mengundang perhatian publik. Angkanya besar, bahkan nyaris tidak masuk akal bagi sebagian orang. Namun jika menelusuri struktur argumen Mentan dan memeriksa realitas pasar global, klaim tersebut ternyata bertumpu pada dasar yang cukup logis.
Amran melihat kelapa bukan sebagai komoditas tradisional yang selama ini kita kenal, melainkan sebagai āpohon industriā yang seluruh bagiannya bisa disulap menjadi produk bernilai tinggi. Selama ini Indonesia memang menjadi produsen kelapa terbesar di dunia, tetapi nilai tambah yang dinikmati sangat rendah karena sebagian besar komoditas dijual dalam bentuk bahan mentah seperti buah segar, kopra, atau kelapa parut. Negara lain yang menguasai hilir pabrik minyak kelapa, industri VCO, pabrik santan kemasan, produsen cocopeat, cocofiber, serta pabrik briket tempurung, justru meraup keuntungan berkali-kali lipat dari kelapa Indonesia.
Di titik inilah Amran menyampaikan argumennya, jika seluruh produk turunan kelapa dikelola di dalam negeri, nilai tambahnya bisa melonjak hingga seratus kali lipat. Ia bahkan menyebut bahwa air kelapa saja, jika dikemas dan dipasarkan secara premium, dapat menghasilkan nilai hingga Rp 2.400 triliun secara nasional. Ketika seluruh produk turunan kelapa mulai dari virgin coconut oil, santan, desiccated coconut, cocopeat, cocofiber, briket tempurung, arang aktif, nata de coco, hingga kosmetik berbasis kelapadigabungkan, nilai maksimal hilirisasi bisa mencapai sekitar Rp 4.800 triliun.
Klaim ini tampak ambisius, namun perlu diingat bahwa permintaan global terhadap produk turunan kelapa sedang meningkat tajam. Pasar Eropa dan Amerika mendorong pola konsumsi plant-based yang menggunakan kelapa sebagai bahan baku utama. Industri hortikultura dunia menyerap cocopeat dan cocofiber dalam volume besar. Pasar Timur Tengah mengandalkan briket premium dari tempurung kelapa Indonesia. Nilai-nilai ini bukan sekadar teori, tetapi kenyataan yang saat ini sedang berlangsung.
Persoalannya adalah Indonesia belum menguasai rantai hilir. Kelapa selama puluhan tahun diperlakukan sebagai komoditas primer yang nasibnya bergantung pada harga pasar. Padahal pohon kelapa adalah salah satu pohon paling produktif di dunia. Buahnya menghasilkan santan, minyak, VCO, air kelapa, gula kelapa, nata de coco, tepung kelapa, hingga arang tempurung bernilai tinggi. Sabutnya menjadi cocopeat dan cocofiber. Daunnya punya nilai budaya dan ekonomi. Batangnya bisa diolah menjadi bahan bangunan. Jika seluruh bagian ini masuk ke industri bernilai tambah, maka gambaran yang disampaikan Amran bukan lagi mimpi, melainkan arah pengembangan ekonomi yang realistis.
Hilirisasi kelapa memang bukan proses cepat. Ia membutuhkan investasi, infrastruktur, teknologi, dan ekosistem industri yang terhubung dari hulu ke hilir. Namun klaim Rp 4.800 triliun adalah gambaran potensi yang mungkin tidak dicapai dalam waktu dekat, tetapi merupakan horizon jangka panjang yang layak diperjuangkan. Ia bukan angka hasil tebak-tebakan, tetapi proyeksi jika Indonesia mampu menguasai rantai nilai kelapa sepenuhnya.
Di bagian akhir pemaparannya, Amran menyinggung Selayar sebagai salah satu daerah yang paling siap menyongsong hilirisasi kelapa nasional. Menariknya, kesiapan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Secara historis, Selayar pernah dikenal di masa kolonial sebagai āThe Green Goldājulukan yang mengacu pada kejayaan kopra dan kelapa yang pernah menghidupkan ekonomi kepulauan ini. Banyak literatur menyebut Selayar sebagai salah satu sentra perdagangan kelapa paling berpengaruh di masa lalu. Pada masa itu, kelapa bukan hanya komoditas pertanian, tetapi simbol kemakmuran. Bahkan sebagian masyarakat Selayar dikenal mampu membeli gigi emas dari hasil kopra, sehingga julukan āemas hijauā bukan hanya metafora, tetapi gambaran sosial-budaya yang nyata.
Ketika Menteri Pertanian melaunching program Gerakan Menanam Lima Juta Kelapa (GEMERLAP) di Selayar, gerakan ini dianggap sangat relevan dengan sejarah dan karakter masyarakat setempat. Selayar bukan sekadar menanam bibit, tetapi mencoba membangun kembali mahkota masa lalunya melalui pendekatan modern. GEMERLAP bukan hanya menyiapkan pohon kelapa untuk 10ā15 tahun ke depan, tetapi juga menyiapkan fondasi bagi industri hilirisasi kelapa di masa mendatang. Jika program ini berjalan konsisten, Selayar berpotensi menjadi laboratorium hilirisasi kelapa Indonesia sebuah model yang menghubungkan sejarah, identitas budaya, dan arah ekonomi baru.
Dengan menyatukan klaim atau mungkin lebih tepat jika disebut visi besar Mentan dan sejarah āThe Green Goldā Selayar, terlihat jelas bahwa ada ruang besar untuk membayangkan masa depan kelapa Indonesia yang lebih berdaulat. Capaian Devisa Rp 4.800 triliun memang ambisius, tetapi tanpa ambisi, bangsa ini hanya akan terus menjadi penonton dalam industri yang bahan bakunya justru berasal dari tanah sendiri.
Hilirisasi kelapa mungkin tidak akan mengubah Indonesia dalam semalam, tetapi jika dimulai dari daerah yang berani menjadi pionir seperti Selayar, maka sejarah emas hijau itu bukan saja dapat dikenang, tetapi juga dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih modern dan bermartabat.
Benteng Kepulauan Selayar, 21 November 2025






















