Editorial Redaksi
Selayarnews-Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Selayar beberapa tahun terakhir memang tampak stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Selayar pada 2023 berada pada angka 4,66 persen, sedikit di bawah rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan yang mencapai 5,08 persen.
Angka ini dalam kacamata makro ekonomi terlihat cukup sehat, apalagi ditopang oleh sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan yang selama ini menjadi tulang punggung daerah. Namun di balik angka pertumbuhan tersebut, terdapat ironi besar: masih banyak warga Selayar, khususnya di wilayah kepulauan, yang bergulat dengan kemiskinan dan keterbatasan.
Secara rata-rata, pendapatan per kapita di Selayar memang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, namun kesenjangan distribusi kesehatan ini sangat terasa. Segelintir pihak menikmati hasil usaha besar di sektor perdagangan, jasa, maupun distribusi hasil laut dan perkebunan, sementara ribuan warga lain hanya berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Data BPS 2024 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Selayar masih berada di angka sekitar 10,7 persen, lebih tinggi dari rata-rata provinsi yang sudah menurun hingga di bawah 9 persen. Angka ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Selayar belum merata dan belum sepenuhnya menyentuh kelompok masyarakat paling rentan.
Kondisi kemiskinan paling terasa di wilayah kepulauan. Di pulau-pulau kecil yang jauh dari ibu kota Benteng, masyarakat hidup dengan akses terbatas pada layanan dasar. Transportasi laut yang mahal dan tidak menentu membuat biaya kebutuhan sehari-hari jauh lebih tinggi dibandingkan di daratan utama.
Harga beras, minyak goreng, dan bahan bakar bisa melonjak dua hingga tiga kali lipat karena ongkos kapal dan distribusi barang. Nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada musim ikan sering kali tidak mampu menutupi biaya produksi, apalagi saat hasil tangkapan berkurang akibat cuaca buruk.
Ironinya, di pulau-pulau inilah sumber daya laut melimpah, namun nilai tambahnya lebih banyak dinikmati pedagang besar dari daratan Selayar maupun dari luar daerah, serta para juragan tertentu di pulau setempat yang hartanya menutupi kemiskinan ribuan warga di sekitarnya. Warga hanya menjual ikan segar dengan harga rendah, sementara hasil olahan atau ekspor bernilai tinggi diambil pihak luar.
Hal yang sama juga terjadi pada kelapa: meski pohon kelapa tumbuh subur di banyak pulau, harga kopra di tingkat petani tetap rendah karena permainan pengumpul. Akibatnya, warga pulau sering terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural: biaya hidup tinggi, pendapatan rendah, dan akses pasar yang terbatas.
Dalam wawancara dengan warga di beberapa pulau, keluhan yang muncul hampir seragam: anak-anak sulit melanjutkan sekolah karena biaya transportasi dan asrama di kota terlalu mahal; layanan kesehatan terbatas, dan jika ada kondisi darurat, harus menyewa kapal dengan ongkos yang memberatkan; sementara pekerjaan alternatif di luar melaut atau bertani kelapa nyaris tidak ada.
Situasi ini memperlihatkan bahwa wajah kemiskinan di Selayar bukan hanya angka statistik, tetapi realita keseharian yang menghantui ribuan keluarga di pulau-pulau terpencil.
Kesenjangan ini semakin terlihat jelas ketika menyentuh komoditas unggulan Selayar, yakni kopra. Meski belakangan harga kopra di beberapa daerah lain sempat naik hingga Rp23.850 per kilogram di Sulawesi Utara (Portalsulut, 18 Juli 2025) dan kisaran Rp19.000–25.000 per kilogram di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Tribunboneonline, 23 Agustus 2025), penelusuran redaksi Selayarnews justru menemukan bahwa harga kopra lokal di Selayar masih berada pada kisaran Rp15.000–18.000 per kilogram. Harga ini fluktuatif, sangat dipengaruhi kadar air hasil pengeringan serta permainan harga di tingkat pengumpul.
Perbedaan mencolok tersebut memperlihatkan rantai distribusi yang timpang dan dugaan adanya ketidakadilan pasar, di mana nilai tambah berhenti di tangan segelintir pihak yang menguasai jalur distribusi, sementara petani kecil tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Fenomena sosial yang muncul belakangan juga cukup memprihatinkan. Banyak kasus pencurian di Selayar, sebagaimana dihimpun dari pemberitaan lokal, justru melibatkan remaja dan anak di bawah umur.
Dari hasil pengakuan mereka kepada pihak kepolisian, hampir seluruhnya didorong oleh alasan ekonomi. Ada yang mengaku mencuri untuk membeli pulsa data agar bisa main game online, membeli handphone, mentraktir pacar, hingga membeli minuman keras dan lem fox. Realita ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi keluarga miskin, ditambah perubahan gaya hidup remaja di era digital, melahirkan kerentanan baru: kriminalitas berbasis kebutuhan konsumtif yang sebenarnya jauh dari kebutuhan primer.
Situasi ini memperlihatkan paradoks besar di Selayar. Di satu sisi, data makro ekonomi memperlihatkan tren positif, namun di sisi lain kesenjangan semakin menganga. Pendapatan segelintir orang, baik pedagang besar, pengumpul, maupun juragan lokal, seolah menutupi realita kemiskinan ribuan warga lain.
Editorial ini ingin menegaskan bahwa pembangunan ekonomi di Selayar harus dilihat tidak hanya dari sisi angka, melainkan dari dampak riil bagi masyarakat. Pertumbuhan memang penting, tetapi pemerataan jauh lebih mendesak. Tanpa kebijakan yang menyentuh nelayan kecil, petani kelapa, buruh harian, dan remaja desa, angka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi topeng yang menutupi wajah kemiskinan. Selayar tidak boleh puas dengan pertumbuhan makro yang menyesatkan, sementara warganya masih hidup dalam ironi.
(Tim)























