Kelong Silajara
Selayarnews– Di masa lalu sering kali cinta muda mudi harus kandas disebabkan adanya penolakan pihak orang tua perempuan terhadap pemuda calon suami dari anaknya.
Perjuangan untuk mendapatkan restu dari orang tua pujaan hati merupakan usaha mempertaruhkan harga diri, adat dan siri. Jalan adat sebagai simbol pengakuan resmi atas hadirnya perkawinan dianggap sebagai jalan yang berliku, terjal dan rumit akhirnya ditinggalkan dengan menempuh jalur Assilariang atau kawin lari.
Berapa banyak kasus Assilariang telah mewarnai perjalanan panjang budaya selayar. Ada yang berhasil mendapatkan status namun sebagian besar gagal dalam perjuangannya mencapai cinta sejati (jammeng) bersatunya dua hati dalam ikatan perkawinan.
Dalam irama musik tradisional selayar, begitu jelas menggambarkan kondisi budaya masyarakat di masa lalu, cerita cinta sampai Assilariang begitu banyak menghiasi syair-syair lagu dalam nyanyian masyarakat selayar yang sampai hari ini lantunan bait dari syair tersebut masih ada dan dapat kita dengarkan baik dalam irama batti-batti maupun dalam irama dide/saride.
Nyanyian dalam irama musik tradisinal selayar tidak hadir begitu saja sebagai baris-baris syair untuk dinyanyikan, bait-baitnya tersusun dengan baik dengan penggunaan bahasa yang begitu indah sebagai gambaran dari metafora yang memberikan persfektif suasana kehidupan di masa lalu.
Peristiwa kehidupan sosial, agama dan budaya dimasa itu termasuk aktifitas pertanian dan kemasyarakatan lainnya menjadi dasar lahirnya sebuah nyanyian yang tersusun dalam bentuk baris-baris kalimat. Bait-bait itu tersusun dengan indah, kata-katanya menyampaikan pesan-pesan kehidupan sosial, keagamaan, budaya dan tentunya pesan kisah kasih percintaan antara pemuda dan pemudi selayar.
Pesan yang sangat dalam disampaikan baik dalam bentuk petuah tentang kehidupan maupun terkait kritik sosial dimasa itu. Nyanyian berikut menggambarkan kisah cinta yang berakhir dengan kematian si pemuda yang membunuh kekasihnya di atas pelaminan dihadapan suaminya yang baru beberapa saat yang lalu peristiwa ijab kabul dilaksanakan.
Kuangmu kujanjang mate
Kucini lampa ri anja
Nala ikau
Jammeng ri tambing maraeng
Nyayian diatas dilatarbelakangi proses Assilariang, dimana akhirnya tetap tidak mendapatkan restu dari orang tua pihak perempuan. Dengan paksa mengambil kembali anak gadisnya dari rumah iman kampung dan mengembalikannya ke rumah keluarga.
Kuatnya ikatan adat, siRi’, pa’Risi dan Rannu sebagai budaya yang penulis istilahkan sebagai budaya 3R telah melahirkan hubungan perkawinan dimasa lalu ditentukan oleh kemauan orang tua. Akhirnya si gadis dikawinkan dengan sepupu dari pihak orang tuanya. Pesta kemudian dilangsungkan dengan sangat meriah.
Para undangan, baik dari pihak keluarga, sahabat dan kawan-kawan lainnya juga ikut hadir dan memberikan doa restunya, tidak terkecuali sang kekasih yang dengan terpaksa membawanya ke rumah iman beberapa waktu yang lalu, hadir di pesta perkawinan kekasihnya tentu dengan perasaan dan luka hati yang menyayat sembilu, sang kekasih akhirnya menikah (jammeng) dengan lelaki lain di depan matanya hari ini.
Di depan para undangan diapun melantunkan nyanyiannya sebagai berikut:
Sannang makontu kau ari
Jammengko surang keramu
Anne i nakke pakrisi
Kusangnging tommamo…
Nyanyian ini kemudian dibalas oleh pihak mempelai perempuan:
Lobakna Allah taala
Pasiramu to ngisinna
Sirampe baji kinne Nassibokoi
Penyesalan diantara keduanya tergambar dengan jelas dari irama lagu yang dinyanyikan. Saat kita bertemu kembali menjadi titik awal perpisahan kita. Hari ini saya telah menjadi milik orang lain. Kasih sayang diantara kita, kisah cinta yang telah kita bangun dengan canda, tawa dan air mata akhirnya berakhir.
Assilariang adalah ujung usaha kita bersama namun itupun akhirnya kandas karena orang tuaku mengambilku dengan paksa dari rumah iman kampung. Si pendamping mempelai wanita juga ikut hanyut dengan perasaan keduanya, diapun ikut menyumbangkan nyanyiannya sebagai berikut:
Manna ri anja pisallang
Na ditte surang bonting Kamanna rianja
Nia tonji Pakbontingan
Sesaat setelah nyanyian diatas berlalu, sang pemuda yang telah berjanji dan bersumpah di dalam hatinya bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memilikimu kembali melantunkan nyanyiannya:
Tidekmo sesse lalangku
Ranggasela ri kalengku
Pattaena Nu sipappa bata-batanni
Tiada lagi penyesalan, telah saya putuskan hidup dan matiku dan semua keraguan akan tindakanku telah lenyap ditelan oleh sakit hati penderitaan cinta, siri (perasaan malu) telah menyelubungi hidupku, begitupun pa’risi (rasa sakit) semakin menghancurkan hati dan terus menggangu pikiranku.
Akhirnya ditengah keputusasaan yang terus membuncah di dalam pikirannya tiba-tiba si pemuda menghunus kerisnya dan secepat itu menikam tepat di jantung pengantin wanita dan sesaat kemudian keris itupun menghujam menusuk ke dalam jantungnya sendiri. Kedua orang itupun akhirnya sama-sama meninggal dunia.
Demikianlah akhir keduanya, si pemuda akhirnya membuktikan kelong-kelong (nyanyian) di setiap pagi dan petang hari. Disetiap detik tarikan napasnya memendam rasa rindu bercampur dendam, dibumbui sakit.
Sekali lagi..Pemuda itu akhirnya dapat dikenang kembali, diingat lewat kelong-kelong, dikenang lewat pantun cintanya.. Sekali lagi..
Kuangmu kujanjang mate
Kucini lampa ri anja
Nala ikau
Jammeng ri tambing maraeng
Rembulan Malam, Komunikasi Budaya Dalam Irama Musik Tradisional Selayar
Oleh: Andi Mahmud