Selayarnews-Terletak di Dusun Gantarang Lalang Bata, Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Masjid Tua Gantarang—juga dikenal sebagai Masjid Awaluddin—merupakan salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan. Dibangun pada abad ke-16 Masehi, masjid ini menjadi saksi bisu penyebaran awal Islam di kawasan tersebut.
Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Pangali Patta Raja, raja pertama Kerajaan Gantarang yang memeluk Islam. Proses islamisasi ini dipengaruhi oleh kedatangan ulama asal Minangkabau, Datuk ri Bandang (Abdul Makmur), yang dikenal sebagai salah satu penyebar Islam di Sulawesi Selatan.
Dalam perjalanannya, Datuk ri Bandang singgah di Selayar dan mengislamkan Sultan Pangali Patta Raja pada tahun 1605, sebelum melanjutkan dakwahnya ke Gowa dan Tallo .
Masjid Tua Gantarang memiliki struktur khas dengan 16 tiang penopang atap berbentuk tumpang, serta satu tiang utama (soko guru) setinggi 6,793 meter yang tidak menyentuh lantai, melainkan ditopang oleh rangkaian kayu. Jumlah total tiang, yaitu 17, melambangkan jumlah rakaat salat wajib dalam sehari .
Di dalam masjid terdapat mimbar berwarna hijau, diapit oleh dua bendera putih bertuliskan huruf Arab, yang diyakini sebagai peninggalan Datuk ri Bandang. Selain itu, terdapat tongkat menyerupai pedang pusaka dan beduk tua yang menambah nilai sejarah masjid ini .
Masjid ini juga dikelilingi oleh berbagai simbol yang mengingatkan pada ritual haji, seperti replika Ka’bah dan tempat yang disebut “Pakkojokang,” yang menyerupai Hajar Aswad. Kawasan Gantarang bahkan dijuluki “Makka Keke” atau “Mekah Kecil,” mencerminkan pentingnya tempat ini dalam sejarah Islam lokal .
Hingga kini, Masjid Tua Gantarang masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah dan menjadi objek penelitian bagi sejarawan, mahasiswa, dan pelajar. Meskipun telah mengalami beberapa renovasi, masjid ini tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya. Upaya untuk menjadikan masjid ini sebagai situs cagar budaya telah dilakukan sejak tahun 2016 .
Masjid Tua Gantarang bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, yang terus menginspirasi generasi penerus untuk memahami dan menghargai warisan budaya dan sejarah Islam di Indonesia.
Kedatangan Datuk Ri Bandang
Sejauh dari sumber-sumber tradisional Sulawesi Selatan (seperti Lontarak, Hikayat Tallo, dan kisah-kisah tutur), tidak ada keterangan eksplisit bahwa Datuk Ribandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang datang dengan pengawalan pasukan militer, baik dari Ternate maupun kerajaan lain. Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa ketiganya bergerak bersama-sama, secara damai, dan lebih sebagai mubalig yang mengandalkan dakwah, bukan kekuatan militer.
Mereka pertama tiba di wilayah pesisir Sulawesi Selatan sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Selayar menjadi salah satu tempat persinggahan mereka yang penting sebelum mereka lanjut ke daratan besar (seperti Tallo dan Gowa). Dari Selayar, mereka mengamati situasi dan mulai mengajarkan Islam kepada masyarakat lokal. Setelah itu, mereka masuk ke kerajaan-kerajaan besar seperti Tallo dan Gowa, yang akhirnya memeluk Islam dan menjadi pusat penyebaran Islam lebih luas di Sulawesi.
Kalau pun ada “dukungan” dari kerajaan Islam lain seperti Ternate, itu lebih bersifat dukungan politik dan moral daripada pengawalan militer nyata. Ternate sendiri, pada masa itu, memang aktif membangun jaringan Islam di wilayah-wilayah lain, tapi tidak banyak bukti bahwa mereka mengirimkan pasukan khusus untuk mengawal para mubalig ini. Lagipula, ekspedisi dakwah seperti ini biasanya sengaja bersifat damai untuk menghindari konflik terbuka yang bisa menghambat penyebaran agama.
Setelah Datuk Ribandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang berdakwah ke kerajaan-kerajaan di Makassar, mereka akhirnya berhasil meyakinkan Raja Tallo, Karaeng Matoaya, untuk memeluk Islam. Karaeng Matoaya ini bukan raja biasa — dia adalah Mangkubumi (semacam perdana menteri) Kerajaan Gowa, sekaligus Raja Tallo. Jadi, dia punya pengaruh sangat besar di dua kerajaan utama itu.
Pada 1605, setelah melalui serangkaian diskusi, perdebatan, dan mungkin juga semacam “uji kemampuan” rohani, Karaeng Matoaya menyatakan masuk Islam. Tak lama kemudian, ia mendorong (bahkan bisa dikatakan mendesak secara politik) Raja Gowa, yaitu I Mangarangi Daeng Manrabia (kelak bergelar Sultan Alauddin), untuk ikut masuk Islam juga.
Lalu dibuatlah sebuah perjanjian:
Tallo dan Gowa berikrar bersama untuk memeluk Islam, menjadikannya agama resmi negara, dan mewajibkan penyebaran Islam ke seluruh rakyat dan wilayah taklukan mereka. Inilah yang disebut orang sebagai “Perjanjian Tallo” — walaupun dalam sumber lokal sering kali tidak disebut pakai istilah itu secara eksplisit; ini istilah modern untuk merangkum kejadian itu.
Dampaknya luar biasa, Gowa dan Tallo segera mengirim ekspedisi ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk mengislamkan mereka. Kalau mereka menolak, kadang-kadang dipaksa lewat kekuatan militer. Islam cepat sekali menyebar ke seluruh Sulawesi Selatan, dari Makassar sampai ke Luwu, Bone, dan Bugis-Mandar. Makassar (Gowa-Tallo) kemudian menjadi salah satu pusat Islam terbesar di Indonesia bagian timur pada abad ke-17.
Dalam tradisi lisan disebutkan Datuk Ribandang hadir dan menjadi saksi utama dalam proses pengislaman Raja Tallo dan Raja Gowa itu. Beberapa sumber seperti Lontarak Patturioloang, Datuk Ribandang bukan hanya menyaksikan, tetapi langsung membimbing proses syahadat kedua raja tersebut. Jadi saat Karaeng Matoaya (Raja Tallo) dan I Mangarangi Daeng Manrabia (Raja Gowa) mengucapkan dua kalimat syahadat, Datuk Ribandang-lah yang membimbing mereka.
Setelah itu, Datuk Ribandang juga melanjutkan untuk mengajarkan dasar-dasar ajaran Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan prinsip-prinsip akidah. Ia tinggal cukup lama di Tallo dan Gowa untuk memastikan Islam benar-benar dipahami, tidak sekadar diucapkan. Inilah kenapa Gowa-Tallo kemudian bisa cepat menjadi basis penyebaran Islam ke daerah lain.
Selain Datuk Ribandang, dua sahabatnya — Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Patimang — juga berperan penting, meskipun lebih banyak melanjutkan dakwah ke daerah-daerah lain setelah proses besar di Gowa-Tallo ini selesai.
Apakah Datuk Ri Bandang adalah Petugas dari Kekhalifahan?
Pada masa Datuk Ri Bandang bergerak (akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17), dunia Islam memang berada dalam zaman kekhalifahan, yaitu Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) yang berpusat di Istanbul. Secara global, Sultan Ottoman saat itu dianggap sebagai Khalifah kaum Muslimin.
Namun, tidak ada bukti langsung bahwa Datuk Ri Bandang adalah utusan resmi Kekhalifahan Utsmaniyah atau menjalankan misi formal dari sana.
Islamisasi di Nusantara pada masa itu lebih banyak digerakkan secara mandiri oleh jaringan ulama lokal dan regional — terutama dari pusat-pusat Islam di Sumatra (seperti Minangkabau dan Aceh), yang terhubung ke Mekah melalui jalur haji dan perdagangan. Jadi, hubungan Datuk Ri Bandang dengan kekhalifahan lebih bersifat spiritual dan intelektual (karena dia bagian dari dunia Islam global), bukan hubungan birokratis formal.
Ada beberapa tradisi lisan (baik di Minangkabau maupun Sulawesi Selatan) yang menyebut bahwa Datuk Ri Bandang adalah keturunan Nabi Muhammad, melalui jalur Sayyid atau Syarif, yakni keturunan dari Hasan atau Husein (cucu Nabi).
Tapi, perlu diingat Bukti formal atau dokumen nasab (silsilah) yang kuat tidak ditemukan untuk mengkonfirmasi klaim ini secara akademik. Pada masa itu, banyak ulama yang memang membawa status “sayyid” atau “syarif” saat berdakwah, dan ini biasanya menambah wibawa mereka di mata masyarakat lokal.
Karamah Datuk Ri Bandang
Dalam tradisi lokal, Datuk Ri Bandang dipercaya memiliki semacam “karamah” yaitu kemampuan luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada para wali atau orang saleh.
Karamah lebih dipahami sebagai mukjizat kecil untuk para wali — bukan hasil latihan atau praktik sihir, tapi sebagai tanda keistimewaan dari Allah karena kesalehan luar biasa.
Contoh cerita tentang karamah Datuk Ri Bandang Di banyak kisah, diceritakan beliau bisa membuat hujan turun atau berhenti saat dibutuhkan, terutama untuk membuktikan kekuasaan Allah di hadapan masyarakat yang masih percaya pada roh alam.
Ada juga kisah bahwa saat beliau berdakwah di tempat yang keras, orang-orang yang hendak menyerangnya menjadi lumpuh atau tidak bisa bergerak, hingga akhirnya malah masuk Islam.
Beberapa cerita bahkan mengatakan beliau bisa berpindah tempat dengan cepat (karamah tayyul ardhi), sesuatu yang sering diceritakan juga dalam kisah para wali di dunia Islam.
Kenapa cerita ini penting?, Karena di Sulawesi Selatan, masyarakat tradisional saat itu sangat menghargai kekuatan gaib atau spiritual. Mereka terbiasa dengan konsep “sakti” dalam kepemimpinan. Jadi, ketika Datuk Ri Bandang memperlihatkan karamah (atau masyarakat melihatnya begitu), itu menjadi faktor kunci dalam mempercepat penerimaan Islam. Bukan hanya ajaran rasional Islam yang masuk, tapi juga rasa takjub dan hormat pada kekuatan spiritual Islam.
(Tim Redaksi)
Disclaimer: Tulisan di atas diambil dari beberapa Referensi secara Online.























