Kupassuroi natea, Kulariampi naero
Kupanjo’jokang balla iman Nata’muri
Kamaingmu sallo banngi, Baji monokmaki kelong
Sitaba halang, Rapakki riballa iman
Kelong diatas menggambarkan situasi dimana pasangan muda-mudi yang dimadu cinta memilih untuk sama-sama berangkat ke rumah iman untuk mendapatkan nikah.
Ada beberapa alasan kenapa pihak perempuan lebih memilih assilaring dari pada menempuh jalur perkawinan sesuai adat, diantaranya tidak mendapat restu dari orang tua untuk menerima laki-laki pujaan hatinya sebagai suami, atau menjadi menantu dari orang tuanya.
Ada beberapa sebab terjadinya kasus seperti ini, diantaranya adalah latar belakang dari pihak laki-laki yang dipandang tidak sederajat, tau kamase (orang miskin), atau bukan dari pihak keluarga.
Kecenderungan orang tua di masa lalu adalah lebih ingin menikahkan anak-anak gadisnya dengan sesama keluarga, apakah itu dari pihak ibu, atau keluarga dari pihak bapaknya. Tentu kasus ini terjadi dengan pertimbangan tertentu.
Dalam rangkaian kelong diatas, dapat kita maknai bahwa pihak laki-laki dan pihak perempuan yang saling memadu kasih memiliki latar belakang yang sama, yaitu pakelong/penyanyi. dimana pihak laki-laki telah meminta kesedian pacarnya untuk menerima lamarannya namun kemudian sang pacar lebih memilih kawin lari/assilariang dari pada menempuh jalan adat dengan meminangnya secara resmi dihadapan kedua orang tuanya.
Kupassuroi natea, aku ingin melamarmu dihadapan orang tuamu, tetapi pihak perempuan tidak ingin menerima lamaran dengan resmi karena dari awal mula sudah mengetahui bahwa orang tuanya tidak mungkin menerima lamarannya, dia lebih memilih assilariang sebagai jalan keluar dari permasalahan cinta mereka.
Sigandra mate bannea
Mate pusu batarayya
Kapindu’na ero’Ri sampu’na
Pihak perempuan akhirnya melantunkan kelong-kelong sebagai alasan kenapa pilihan assilariang harus ditempuh. Orang tua dan pihak keluarga menginginkan dia menikah bersama dengan sepupunya.
Suatu hal yang menjadi kebiasaan orang tua di masa yang lalu, yang menjadi banyak sebab terjadinya peristiwa assilariang. Bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan dimana akhirnya banyak anak-anak gadis bersama anak-anak muda lainnya akhirnya memutuskan kawin lari diluar adat demi memperjuangkan cinta mereka, berjuang melawan adat kebiasaan dan tentunya berjuang untuk mendapatkan nikah.
Kasus ini digambarkan dalam baris kelong berikutnya Kulariampi naero, pihak laki-laki akhirnya mengambil kesimpulan untuk mengajak pacarnya berangkat ke rumah iman dan ajakan itu kemudian dibalas dengan senyuman sebagai tanda setuju.
Setelah lewat tengah malam, acara menyanyi telah selesai, merekapun berangkat ke rumah iman dengan harapan saat fajar menyingsing mereka dapat sampai disana. Sebagaimana potongan kelong berikut, Kamaingmu sallo banngi, Baji monokmaki kelong, Sitaba halang, Rapakki riballa iman.
Sebagai laki-laki yang beranggungjawab terutama dalam menanggung segala hal yang akan terjadi, baik itu ancaman dari pihak keluarga perempuan, maupun tanggungjawab materi, siri dan akibat yang menyertai dari keputusan membawa lari pacarnya kerumah iman tentu membawa beban penderitaan yang sangat luar biasa.
Beban pikiran, mental dan sebagainya akan menyertai mulai detik pertama keputusan mereka ambil. Belum lagi pihak keluarganya yang belum mengetahui perbuatannya saat ini dan berbagai macam pikiran-pikiran telah muncul satu persatu. Kelong berikut memberikan gambaran apa yang dialami oleh pihak laki-laki setelah sampai di rumah iman:
Nakkentamama kaliru
Lanri panggeokang inni
Kalalang kinni
Ritangngana kala-kala
Kembali kita temukan dalam baris-baris nyanyian diatas perumpaan kesulitan yang dihadapi oleh mereka berdua di rumah iman disandingkan dengan penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh pelaut di tengah-tengah badai dan ombak besar yang menerpa.
Kala-kala oleh masyarakat selayar adalah arus laut yang kuat dengan ombak dan angin yang sangat ditakuti dalam pelayaran. Apa yang mereka alami ibaratnya sebuah kapal yang diterjang ombak besar dan angin kencang ditengah lautan.
Jari lantenaki mae
Ri soeang pa’risinni
Ka inni hattunni
Kau pau nakke ammio
Cerita berlanjut, kelong diatas adalah gambaran suasana hati seorang gadis yang dengan suka rela dan setuju menerima apapun resiko yang mereka telah putuskan.
Perasaan sedih sebagai akibat tidak direstui hubungan oleh orang tuanya telah membawanya sampai di rumah iman untuk mendapatkan nikah, apapun bentuk perlakuan dari pihak laki-laki sebagai pacarnya akan diterima apa adanya.
Tanggungjawab mutlak atas dirinya saat ini telah diserahkan sepenuhnya kepada laki-laki yang di cintainya. Dalam adat masyarakat selayar, sepasang kekasih yang telah sampai di rumah iman, akan diproses lebih lanjut secara adat. Ada yang berhasil mendapatkan nikah dan banyak juga yang gagal.
Pihak keluarga perempuan tetap tidak rela dan terkadang dengan paksa keluarga pihak perempuan akan memulangkan anak gadisnya ke rumah orang tuanya. Di masa lalu, hal ini biasa sulit dilakukan jika para kekasih mendapatkan perlindungan yang kuat dari pihak tuan rumah (iman) yang mereka tuju.
Dimana dapat ditemukan bahwa pihak iman akan segera memberikan mereka nikah apapun resiko yang akan terjadi. Setelah pernikahan terlaksana, baru kemudian disampaikan atau dilaporkan ke pihak keluarga perempuan.
Biasanya pihak dari keluarga perempuan tidak mengetahui anaknya diantar ke kampung yang mana? Apakah masih di selayar atau dibawa lari keluar selayar. Yang tersulit sepasang kekasih yang kabur keluar selayar biasanya tidak akan kembali ke kampung halaman, yang sampai hanyalah kabar berita bahwa anak perempuannya sudah sampai di kota tujuan dan mereka telah melangsungkan pernikahan di tempat tujuan mereka.
Lanakkena la’bojai
Nai kai mbattu mae
Kukana mamo
Dalle simata-mataku
Kelong diatas menggambarkan suatu peristiwa penyerahan diri seorang gadis kepada kekasihnya untuk dibawa pergi, pergi jauh dari kampung halaman untuk mengejar kehidupan baru bersama kekasihnya di negeri orang.
Suatu keberuntungan bagi pihak laki-laki dimana dia tidak perlu bersusah payah mengajak kekasihnya untuk pergi, dengan sendirinya sang kekasih yang telah lebih dulu rela dan mengajaknya agar sudi membawanya pergi jauh, untuk mendapatkan nikah demi cintanya kepada kekasihnya.
Dari peristiwa ini, dapat dijelaskan bahwa si gadis mendapatkan penjelasan dari keluarganya bahwa dia akan dikawinkan dengan pemuda dari pihak keluarganya. setelah memikirkan peristiwa yang akan menimpa dirinya, menikah tanpa cinta, diapun mengambil keputusan untuk mengajak pacarnya pergi jauh meninggalkan keluarganya dan menikah di daerah yang menjadi tujuan perencanaan mereka berdua.
Banyak informasi yang diperoleh sampai hari ini, bahwa daerah tujuan sepasang kekasih yang pergi meninggalkan selayar dalam kasus assilariang diantaranya pulau batam, pulau sumbawa, flores, makassar, kabaena, toli-toli, palu, kendari bahkan sampai ke papua. Kelong-kelong berikut memberikan gambaran sepasang kekasih yang akan pergi ke pulau batam.
Pulau di perbatasan Indonesia dan Singapur yang menjadi tempat tujuan mereka:
Injo nalaero’ jako
La nyombalang ri pulau batam
Lanakke toje
Lataba sura’nikkamu
Injo nalaero’ jako, kalau seandainya kamu setuju, la nyombalang ri pulau batam, untuk pergi bersamaku ke pulau batam, lanakke toje, sudah bisa saya pastikan, lataba sura’nikkamu, bahwa saya akan menjadi suamimu.
Begitulah komunikasi yang terbangun diantara sepasang kekasih yang saling menggoda untuk melakukan kawin lari/assilariang menuju tempat yang sangat jauh, pulau batam di semenanjung pulau sumatera. Sekali lagi kelong diatas Kita nyanyikan untuk mengenang Perjuangan sepasang kekasih Yang pergi ke rumah iman Untuk mendapatkan nikah:
Kupassuroi natea
Kulariampi naero
Kupanjo’jokang balla iman Nata’muri
Kamaingmu sallo banngi
Baji monokmaki kelong
Sitaba halang
Rapakki riballa iman
Oleh : Andi Mahmud, ST























