Oleh
Hasanuddin Rahman.
Ph.D. Candidate-Vrije University Amsterdam
Ketua IKA BOMA Kab. Kep. Selayar
Sebuah buku yang ditulis oleh Allison Lassieur -Genius of Twentieth Century, mengisahkan seorang Einstein yang pada usia sekolah, pernah mengalami kesulitan yang sama seperti apa yang pelajar pada umumnya pernah alami, mungkin kesulitannya bisa diasumsikan seperti susah menyelesaikan PR, susah memahami penjelasan dari guru, atau mungkin susah menghafal materi hafalan, bahkan menurut buku tersebut, seorang Einstein ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar banyak gurunya yang menganggap bahwa si Einstein ini adalah seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental. Seorang Einstein bahkan pernah tidak lulus di sekolah menengah atas dan sebuah politeknik yang ada di tanah kelahirannya (Kota Ulm-Jerman). Namun sejarah mencatat bahwa Albert Eintstein diusia dewasa dikenal sebagai orang yang paling jenius seantero jagad “Person of the century’ atau manusia paling jenius di Abad 20. Mungkin kita semua sepakat bahwa hal ini tidak terjadi begitu saja, ada proses didalamnya yang harus dia dilewati. Buku tersebut menceritakan beberapa kisah yang nampaknya sebagian dari kita yang merantau ke kota untuk melanjutkan studi pernah kita alami bersama dimana seorang Einstein harus melewati masa muda jauh dari orang tua seperti mahasiswa rantau pada umumnya. Yang mungkin berbeda dengan beberapa orang dari kita adalah nilai dan kadar dari usaha dan kerja keras seorang Einstein dengan yang kita miliki.
Perjuangan serta usaha-usahanya untuk terus mengkaji dan belajar berbagai hal yang pada akhirnya membuahkan hasil. Kita sering mendengar akan karya–karya briliantnya mulai dari teori relativitas, rumus Ajaibnya, bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki masa perang dunia II serta berbagai karya monumental yang menjadi akar penemuan berbagai penemuan mutakhir lainnya. Pada akhir tahun 1999 seperti yang diberitakan di majalah Times, Einstein dinobatkan sebagai Person of the Century -orang paling spektakuler di abad 20. Sebelum meninggal, Einstein mewasiatkan agar otaknya diambil dan digunakan sebagai bahan penelitian. Einstein yang meninggal di usia 76 tahun (14 Maret 1879-18 April 1955), setelah wafat jasadnya diambil kemudian kepalanya dibelah dan otaknya dikeluarkan untuk diteliti. Otaknya dipisahkan menjadi beberapa bagian yang oleh Dr. Thomas Harvey, dibagikan kepada beberapa orang peneliti. Konon katanya, saat itu kapasitas memori otak Einstein diteliti. Einstein yang dikenal sebagai orang yag senatiasa menggunakan nalarnya untuk mengkaji rahasia alam yang belum terpecahkan oleh manusia ternyata hanya menggunakan sepersepuluh dari potensi otak yang dimiliki manuia pada umumnya.
Sejak manusia lahir, manusia sudah dibekali potensi yang luar biasa, kurang lebih sama dengan Si Jenius. Namun ketika kita tidak berusaha menggali dan mengembangkan diri maka potensi itu akan terkubur. Kita mempunyai otak dengan struktur yang lebih canggih dari jenis komputer apapun. Sebagai bukti, seorang Mozart yang menciptakan alunan musik yang sangat luar biasa ternyata adalah orang yang tuli, hal yang kedengarannya mustahil. Ini karena potensi yang dimiliki. Terbukti otak, pikiran, indra, dan hati adalah potensi yang sangat luar biasa.
Otak Manusia
Dalam buku cara baru mengasah otak dengan asyik karya David Gamon, Ph.D. seorang pakar pendidikan dari University of California menjelaskan tentang sel-sel otak di berbagai Zona yang berbeda. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa sikap apatis (acuh tak acuh) dan malas adalah penyebab utama vitalitas otak yang lemah serta jari-jari dendrite pada otak yang berfungsi untuk menangkap berbagai respon respon yang disampaikan oleh indra.
Jari–jari dendrite pada otak dia analogikan, mengalami hal yang sama seperti apa yang terjadi pada otot sendi manusia. Otot sendi manusia yang jarang dipakai pada akhirnya akan kaku sehingga kita kesulitan untuk melakukan gerakan-gerakan yang menuntut otot yang elastis. Otot yang kaku pastinya jauh dari kriteria seorang olahragawan karena seorang olahragawan tidak memiliki otot yang kaku. Kasus serupa terjadi pada fungsi otak, karena otak kita jarang kita gunakan untuk berpikir, tidak terbiasa digunakan untuk menghadapi tantangan dan menyelesaikan masalah maka pada akhirnya kinerja otak tidak bisa maksimal dan kita tidak bisa menjadi seorang pemikir yang menuntut kita tanggap.
Dalam referensi lain, buku yang berjudul berfikir positif dan berjiwa besar disebutkan bahwa otak manusia mempunyai cara kerja yang sama dengan bank. Otak manusia menyimpan respon-respon yang kita sampaikan ke otak pada saat menghadapi situasi tertentu. Ketika kita cenderung menyerah pada saat menghadpai situasi yang menantang maka itulah yang dideposit dalam otak kita. Ketika hal ini terjadi maka yang bisa kita tarik dari bank pikiran kita adalah respon sejenis yang sering kita lakukan ketika menghadapai situasi yang menantang. Sebaliknya, jika kita membiasakan diri untuk menghadapi situasi yang menantang maka jenis respon inilah yang akan ditabung di dalam otak kita, sehingga ketika kita membutuhkannya, respon inilah yang akan ditarik dari bank pikiran kita.
Life is A Matter of Choice
“Life is a matter of choice” hidup adalah masalah pilihan. Menentukan pilihan merupakan rutinitas disela-sela kesibukan kita dalam melakukan berbagai aktifitas. Harapannya setiap dari kita senantiasa menetapkan pilihan pada hal yang tepat. Dalam berbagai aspek kehidupan, hampir disetiap apa yang kita lalui kita diperhadapkan dengan hal untuk dipilih yang tentunya setiap pilihan dipersandingkan dengan konsekuensi yang harus kita terima. Sama halnya dalam cara yang kita pilih untuk menjalani hidup, ada yang memilih untuk menjalani hidup dengan apa adanya berjalan sesuai irama disekeliling mereka, adapula yang mengelak dan berusaha keluar dari situasi yang dianggap kurang nyaman atau kurang menguntungkan. Salah satu konsekuensi yang kita hadapi sebagai hasil dari usaha kita adalah kegagalan dalam berusaha. Orang-orang “super optimis” selalu mengatakan bahwa selalu ada kesempatan untuk berhasil melalui setiap usaha yang dilakukukan, bahkan kadang-kadang untuk memotivasi diri mereka “dengan lantang” mereka mengatakan bahwa saya tidak gagal tapi belum maksimal dalam berusaha, saya pasti bisa, ini tantangan bukan sebuah masalah. Namun sebaliknya, orang yang pesimist dengan mudahnya akan mengatakan, ini sudah takdir dari yang diatas padahal sebenarnya masih ada ruang untuk berusaha. Untuk mereka yang selalu ada rasa optimis dalam dirinya bahkan akan mengatakan “life is a matter of choice” hidup adalah masalah pilihan. Mereka berpendapat bahwa kita mengalami kegagalan, kesuksesan, merasakan sehat sakit, senang, bahagia, gembira dan kesedihan, faktor dari diri kita sendiri memiliki andil yang cukup besar. Mungkin analogi sederhananya ketika kita masih di bangku sekolah dasar, guru kita tidak bosan-bosannya mengingatkan kita untuk rajin belajar agar kita banyak tahu. Guru kita dulu mungkin pernah berkata yang redaksinya kurang lebih seperti ini; “Nak, kalau kamu mau menjadi anak yang pintar kamu harus rajin belajar, jangan malas dan terlalu banyak santai, namun apa yang kita lakukan kemudian adalah banyak main, bermalas-malasan. Dari sedikit analogi ini kita mungkin sepakat bahwa ketika kita pada akhirnya sedikit tahu atau kurang pintar, hasil dari pilihan kita sendiri memiliki andil yang cukup besar di dalamnya.
Gambaran sederhana lainnya bisa kita kita ambil dari analogi rokok. Rokok secara medis sudah terbukti bisa menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Namun apa yang terjadi kemudian adalah, sebagian dari kita tetap mengisap barang tersebut. Ketika perokok kemudian menderita kanker, impotensi gangguan kehamilan atau janin maka secara tidak langsung penyakit itu mereka sendiri yang pilih. Namun tentunya prinsip “life is a matter of choice” harus menjadi bagian dari ikhtiar untuk memacu diri yang harus tetap ditempatkan ditengah-tengah rasa berserah diri kepada sang maha segala.Life is a matter of choice seyogyanya bisa menjadi pemacu untuk terus melakukan hal positif.
Tulisan ini dibuat, sembari menjaga ayahanda (alm.) yang saat itu terbaring di rumah sakit. “Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihii wa’fu’anhu” (Ya Allah, ampunilah dia, dan kasihanilah dia dan sejahterakanlah serta. Penulis mencoba browsing informasi tentang orang paling jenius setelah Albert Einstein, namun belum ditemukan artikel yang memuat tentang orang paling jenius setelahnya, yang ada hanya orang-yang memiliki IQ tertinggi. Jadi menurut hemat penulis, mengambil hikmah dari kisah Albert Einstein masih relevan dengan konteks masa kini.