Selayarnews– Tagihan pajak bernilai fantastis di Selayar ramai menjadi pembicaraan publik. Pasalnya, seorang pengusaha asal Selayar mendapat tagihan senilai Rp 5,6 Miliar dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Selayar, pada Senin 7 Maret 2022 silam.
Teranyar kabar pengusaha hasil bumi yang ditagih pajak miliaran itu tengah melayangkan laporan ke Istana Kepresidenan Republik Indonesia, dengan surat yang ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Menanggapi hal in Konsultan Accounting & Tax, Institute Integrity Indonesia Andi Rusbiandi,SE mengungkapkan bahwa jika terjadi masalah seperti ini tidak perlu langsung bersurat ke Presiden.
” Jadi ketika mendapat Surat Cinta dari KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Tidak perlu langsung Berkirim Surat ke Presiden, karena Sangat sangat kecil sekali akan direspon, Terlalu banyak kerja Presiden untuk sekedar mengurusi satu WP (Wajib Pajak) ” jelasnya
Lanjut Rusbiandi menjelaskan bahwa kewajiban seorang pengusaha ialah mencatat semua bukti transaksi perusahaan; melaksanakan kewajiban perpajakan; dan melapor SPT tahunan, baik badan maupun pribadi.
“Yang pertama catat semua transaksi, filing bukti-bukti transaksi dengan aman dan rapih, lalu laksanakan kewajiban perpajakan, yaitu ada saatnya kita dipotong pajak (Minta bukti potong dan faktur pajak). Juga ada saatnya kita memotong/memungut (Pajak), kemudian lapor SPT masa (Untuk ini harus paham teknik perpajakan). Ketiga lapor SPT tahunan baik Badan maupun Pribadi,” kata Rusbiandi kepada Selayarnews, Kamis (10/3).
Putra daerah asal Selayar ini juga membeberkan ada beberapa masalah yang kerap dialami oleh pengusaha-pengusaha menengah kebawah (UMKM) di Indonesia. Menurutnya pengusaha UMKM seringkali lalai dan menganggap remeh laporan keuangan.
“Problemnya pengusaha Indonesia, terutama yang menengah kebawah itu (UMKM) lalai terhadap laporan keuangan. Menganggap remeh laporan keuangan, yang dipikirin hanya saldo bank dan sales. Nanti kalau sudah terdesak baru sibuk cari-cari laporan keuangan. Padahal laporan keuangan ini bukan sekadar mau tau berapa laba atau rugi, berapa jumlah aset, dsb. Tapi ini dasar perhitungan pajak kita, kalau di audit oleh KPP, pasti yang diminta pertama itu laporan keuangan,” imbuhnya.
Masalah lain, menurut Rusbiandi ialah kebanyakan pengusaha acuh terhadap bukti-bukti transaksi perusahaan. Dan kalangan pengusaha banyak yang tidak paham mengenai kewajiban perpajakan.
“Problem kedua, cuek terhadap bukti-bukti tranksaksi, nota, kwitansi, invoice, bukti potong pajak, dsb, tidak disimpan kadang malah dibuang. Padahal ini data valid untuk membuktikan penghasilan dan biaya perusahaan. Problem ketiga, banyak pengusaha yang tidak paham kewajiban perpajakannya. Atau tidak tahu mengisi SPT (Untuk ini solusinya bisa merekrut karyawan pajak dan akuntansi),” tutupnya. (AJ)