Selayarnews.com – Zaman kita melahirkan net generation. Sebuah klan tanpa negara yang menjadikan dunia ini semakin menyempit. Pada masa ini, seorang guru manual pasti terlempar ke planet tanpa penghuni karena dirinya tidak dibutuhkan lagi di sini, di sekolah kita. Sekolah-sekolah telah tembus batas. Para anak didik menggenggam setiap detail pengetahuan yang berasal dari informant yang tidak mereka kenal di dunia manual. Gadget mengambil peran terpenting memengaruhi anak didik, melebihi orangtuanya, guru-guru di sekolah, dan lingkungan nyata.
Riuh angkasa raya yang mengharu-biru menggiring klan tanpa batas ini ke dalam kegelapan jagad yang pengap, karena bintang-bintang hanya berupa bebatuan yang pongah. Net generation berhadapan dengan kegamangan yang berpendar menghasilkan big-bang kebobrokan di mana-mana.
What happened with our planet? Pemerintah dan masyarakat, pejabat dan jelata, orang tua dan orang belia menatap tajam ke sebuah destinasi warisan Plato: sekolah. Guru-guru yang menjadi mesin utamanya dikutuk yang dipamerkan oleh cibiran, kedengkian, dan aturan-aturan yang menyiksa.
Berbagai cara dibuat, dibangkitkan, untuk melejitkan keahlian para guru yang terseret oleh zaman. Workshop intensif, training-training bertingkat, seminar berkelanjutan menyelimuti kebingungan para kaum terdidik ini. Bukankah para guru itu lulusan kependidikan atau keguruan? Bukankah mereka bisa memelajari semua materi workshop itu di rumah? Itu tidak cukup, begitu jawaban para ahli. Guru-guru kita harus profesional. Keprofesionalan diperoleh setelah melewati proses pendidikan dan pelatihan terjadwal yang menghabiskan anggaran dan menguras energi, karena kegiatan itu mengajari guru cara menilai dengan angka-angka setiap rasa manusia yang diumbar oleh anggaran negara yang terhambur. Jenis-jenis guru pun muncul, seperti guru moda daring, guru bersertifikat, dan guru ambur-adul yang menyebar ke kelas unggulan, kelas aktif, dan kelas hypno. Berbagai jenis presentasi terpampang mulai dari yang lucu ke yang sembrono, yang memotivasi dan menyedihkan, dalam pancaran proyektor yang melelahkan. Metode mengajar dihamparkan bersama nama-namanya yang memesona.
Praktik pelemahan guru muncul melalui cerobong kenaikan pangkat yang bertele-tele dan manual melibatkan kebohongan pembuatan PTK. Karya-karya guru cenderung tak berguna, tidak dihargai. Karya PTK yang dibayar yang lebih dianggap sebagai karya yang pantas diterima. Para guru diberi kewajiban memikirkan dan menekuni karya tulis ketimbang mengajar. Sebaliknya, karya sastra dan seni yang dihasilkan guru tidak pernah diperhitungkan. Karena perhitungan itu berkaitan dengan angka-angka yang dianalisis. Sejumlah guru dipaksa menjalani profesi lain demi keberlanjutan administrasi sekolah.
Popularitas pengutukan guru ini tercium baunya hingga ke pelosok-pelosok terpencil yang membuat orang-orang yang tidak pernah menjadi guru turun tangan membawa ‘parfum’ masing-masing yang diberikan kepada ribuan guru. Sayangnya, perubahan tak pernah muncul karena setiap guru memang berbeda rasa-cita-cintanya, dan sebagaimana kaum konservatif lainnya berubah hanya pilihan pasrah yang terpaksa.
Salah satu kutukan terberat yang diterima guru adalah kebiasaan mereka berceramah di kelas. Kutukan itu juga meniti lidah para pemegang kebijakan yang tidak pernah merasakan pahit getirnya mendidik di sekolah-sekolah terbelakang. Fenomena ini di luar konteks kelas unggulan. Kelas-kelas aktif berseliwiran. Para guru didesak untuk mengaktifkan kelas lewat permainan, kerja kelompok, dan berbagai kegiatan yang joyful sekaligus problematic (menyenangkan, menantang). Puncak dari kutukan ini adalah: fullday school.
Masa panjang mengingatkan kita pada sistem pendekatan dalam membimbing siswa mengenal sekolah baru yang selalu diwarnai tindakan-tindakan kontra-edukatif. Ini sebuah persoalan yang membuat predikat guru semakin tak bertuah. Segala sesuatu yang sifatnya dogmatis, kaku, irrasional, apatis, menekan, dapat dimasukkan ke dalam sistem pembelajaran semacam itu. Komentar yang sifatnya mencela kerapkali dimunculkan untuk memicu semangat belajar siswa. Sementara juga masih tersisa guru yang seringkali mengumbar pornografi, rokok, dan berbagai jenis bully yang mengekori ego para primata. Praktik purba yang melemahkan ini nyatanya bukan omong kosong.
Sejak dilahirkan manusia telah dijejali celaan yang sifatnya meruntuhkan. Alasan yang mendukung prinsip belajar dari celaan (komentar negatif) adalah untuk menempa mental siswa awal. Logika ini dipopulerkan dan dipraktekkan di akademi kepolisian dan militer. Benarkah pendekatan semacam itu sanggup membuat seluruh kekuatan belajar (indra, otak, emosi) kita berfungsi sebaik-baiknya di sekolah? Jika jawabannya ‘ya’ maka sudah jelas bahwa guru wajar menerima setiap kutukan itu.
Keputusan fullday school ataupun penambahan jam kerja bagi guru-guru bersertifikat di sekolah bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan dan pendidikan paripurna, dan menohok ketidakmampuan klan educator puncak memahami situasi. Guru-guru tersebut memerlukan interaksi santai dengan keluarganya di rumah karena rumah adalah sekolah pertama. Jatah istirahat selama dua hari hanya akan dihabiskan oleh para guru membuat laporan pembelajaran, PTK, jurnal, dan tugas-tugas tambahan lainnya. Bagi siswa tertentu yang aktif menjalani kegiatan kursus, olahraga, ataupun rutinitas belajar keahlian lainnya di luar sekolah telah terkuras waktu dan energinya. Saat kesibukan telah menjadi raja, maka karakter cinta akan menjadi budak. Sampai kapan bully terhadap guru berdentang? Bukankah Findlandia sudah lama meninggalkan tradisi setback ini?
Sekedar untuk direnungkan!
****
Penulis : Osella (The Author of Passanderang Series of Books)