Selayarnews– Sebuah operasi gabungan Polairud Polda Sulsel dan Jagawana berhasil mengungkap praktik penyimpanan bahan pembuatan bom ikan di kediaman Mursidi (64), seorang nelayan tradisional di Dusun Kampung Tengah, Desa Tambuna.
Penggerebekan yang dilakukan Selasa pagi (15/4) sekitar pukul 07.00 WITA ini menemukan bukti-bukti berupa setengah karung pupuk merek “Cantik”, kaleng cat berisi pupuk yang sudah disangrai, serta alat detonator sederhana.
Berdasarkan data dari Kantor Desa Tambuna dan Dinas Sosial Kabupaten Kepulauan Selayar, Mursidi tercatat sebagai warga miskin ekstrem yang harus menghidupi seorang istri dan enam orang anak dengan penghasilan tidak menentu dari melaut.
“Kondisi ekonomi keluarga Mursidi memang sangat memprihatinkan. Mereka termasuk penerima bantuan sosial rutin dari pemerintah,” ujar Kapolres Kepulauan Selayar AKBP Adnan Pandibu mengakui kompleksitas kasus ini.
“Ini adalah dilema yang sesungguhnya. Di satu sisi Polisi wajib menegakkan hukum terhadap praktik yang merusak ekosistem laut, tapi di sisi lain kami melihat kondisi pelaku yang sangat memilukan,” paparnya.
Kapolsek Takabonerate Iptu Amat Soedachlan menambahkan bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh operasi gabungan Polairud Polda Sulsel dan Jagawana tersebut dilakukan berdasarkan laporan warga.
“Bahan-bahan ditemukan memang merupakan komponen standar pembuatan bom ikan, kami juga memahami ini bukan sekadar masalah kriminal biasa, melainkan gejala dari masalah struktural yang lebih dalam,” jelasnya.
Dr. Andi Samad, pakar kelautan dari Universitas Hasanuddin, menyoroti akar masalah seperti ini beberapa waktu lalu.
“Kasus-kasus destruktif fishing yang muncul menunjukkan bahwa pendekatan represif saja tidak akan menyelesaikan masalah bom ikan. Di balik setiap pelaku, seringkali ada cerita tentang tekanan ekonomi dan kurangnya alternatif mata pencaharian,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Takabonerate, Hasan Basri, mengungkapkan keprihatinannya.
“Banyak nelayan seperti Mursidi yang terjebak dalam lingkaran setan. Mereka tahu bom ikan merusak, tapi ketika lapar menghadang dan tidak ada pilihan lain, naluri bertahan hidup seringkali mengalahkan segalanya,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar juga tak bisa dikatakan diam melihat kompleksitas masalah ini.
Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah program dijalankan seperti
Program pelatihan budidaya rumput laut, konversi alat tangkap ramah lingkungan, serta pendampingan khusus bagi keluarga nelayan rentan. Namun efektivitas, pelaksanaan program ini apakah tepat sasaran atau tidak tetap perlu dievaluasi.
Dinas Sosial juga mengklaim telah meningkatkan pengawasan terhadap distribusi bantuan sosial untuk memastikan tepat sasaran.
Kasus Mursidi ini menjadi cermin bagi semua pihak tentang pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan keadilan sosial.
Beberapa waktu lalu Redaksi Selayarnews berbincang dengan seorang Nelayan tentang kondisi keuangan yang memaksa beberapa Nelayan harus bekerja bahkan melakukan aksi Pengeboman ikan.
“ Jadi kami ikut di Kapal Bos, untuk melunasi hutang kebutuhan keluarga, kalau pulang tetap dikasih juga secukupnya. Bos bagus, karena kapanpun kami butuh selalu dikasih biar tengah malam” kata seorang Nelayan.
Fakta ini mengungkap bahwa kehadiran lembaga keuangan dengan harapan mempermudah jangkauan akses keuangan warga untuk modal usaha misalnya, masih sangat sulit.
“ Saya tidak ambil kredit usaha di bank, karena syaratnya banyak pak, saya tidak mengerti “ katanya.
Pemerintah daerah, penegak hukum, akademisi, dan masyarakat kini bekerja sama mencari solusi berkelanjutan yang tidak hanya menghentikan praktik bom ikan, tetapi juga memberikan alternatif kehidupan yang layak bagi para pelakunya.
(Red)