Selayarnews – Seruan Ketua Yayasan Assoong Kabajikang Silajara (YAKS), Zubair Nasir, agar Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menjadikan ikan teri dan cumi kering sebagai menu Makan Bergizi Gratis (MBG) sejalan dengan kritik keras yang sebelumnya disuarakan ahli gizi masyarakat Dr. dr. Tan Shot Yen, M.Hum, di DPR RI. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya pangan lokal sebagai inti program gizi nasional, bukan produk industri ultra proses yang justru mengikis identitas kuliner daerah.
Zubair menegaskan bahwa ikan teri dan cumi kering memiliki kandungan gizi yang sangat baik untuk anak-anak sekaligus dapat menghadirkan multiplier effect bagi nelayan. Ikan teri, misalnya, dalam 100 gramnya mengandung sekitar 33 gram protein, kalsium, fosfor, zat besi, serta omega-3 yang bermanfaat bagi pertumbuhan tulang dan gigi, mendukung fungsi otak, menjaga kesehatan jantung, hingga mencegah anemia. Vitamin A, D, B3, B12, dan K di dalamnya juga membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak. Hal ini sejalan dengan penjelasan ahli gizi klinik dr. Astrid Wulan Kusumoastuti, M.Sc., Sp.GK, yang menekankan manfaat besar ikan teri sebagai bahan pangan lokal bernilai gizi tinggi.
Cumi kering juga dinilai sangat layak menjadi pilihan menu MBG. Cumi merupakan sumber protein rendah lemak yang kaya mineral penting seperti fosfor, kalsium, zinc, dan selenium. Kandungan vitamin B kompleks di dalamnya berperan dalam metabolisme tubuh dan pembentukan energi. Ahli gizi dr. Dyah Novita Anggraini menjelaskan bahwa nutrisi cumi-cumi bermanfaat bagi pertumbuhan sekaligus mendukung sistem kekebalan tubuh, meski kadar natrium pada olahan kering tetap perlu diperhatikan.
Menurut Zubair, kendala utama dalam penggunaan ikan segar adalah ketersediaannya yang tidak selalu terjamin, apalagi dengan pola tangkap nelayan yang sangat bergantung pada musim. Karena itu, olahan kering seperti ikan teri dan cumi kering menjadi solusi praktis yang lebih terjamin pasokannya, lebih awet disimpan, dan tetap memiliki nilai gizi yang tinggi.
Ia menegaskan bahwa tujuan memasukkan hasil tangkapan nelayan dalam menu MBG bukan hanya soal variasi makanan, tetapi juga memastikan program prioritas pemerintah pusat ini memberi manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat pesisir. Dengan adanya pembelian rutin hasil laut dari nelayan setempat, akan tercipta pasar tetap, peningkatan pendapatan, serta peluang usaha kecil dalam pengolahan ikan dan cumi.
Suara senada juga muncul di tingkat nasional. Dikutip dari Suara.com, Dr. Tan Shot Yen dalam audiensi bersama Komisi IX DPR RI dengan tegas mengkritik arah program MBG yang dinilai lebih mengutamakan produk industri ketimbang kekayaan pangan lokal. Ia bahkan menyerukan agar 80 persen menu MBG diisi oleh pangan lokal khas daerah masing-masing. “Saya pengen anak Papua bisa makan ikan kuah asam. Saya pengen anak Sulawesi bisa makan kapurung,” ujarnya, sembari mengkritisi ironi bahwa di banyak daerah justru anak-anak diberi menu burger yang berbahan dasar tepung terigu, tanaman yang bahkan tidak tumbuh di Indonesia.
Zubair menilai pandangan tersebut selaras dengan tujuan YAKS dalam mendorong SPPG di Kepulauan Selayar agar lebih berani menggunakan hasil tangkapan nelayan sebagai bahan pangan MBG. Menurutnya, program ini tidak boleh berhenti hanya pada pemenuhan gizi anak, tetapi juga harus menjadi instrumen pemberdayaan sumber daya lokal.
“Anak-anak kita mendapatkan gizi yang lebih baik, sementara nelayan juga merasakan manfaat ekonominya. Itulah multiplier effect yang kita harapkan. Program MBG ini bukan sekadar memberi makan, tetapi juga memberdayakan,” ujar Zubair.
Ia berharap SPPG di berbagai wilayah Kepulauan Selayar dapat menindaklanjuti langkah ini dengan serius, sehingga MBG benar-benar membawa manfaat ganda, baik bagi tumbuh kembang anak-anak maupun bagi kesejahteraan masyarakat lokal.
(Red)