Selayarnews.com – Baru-baru ini Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesian program melakukan survey terhadap kondisi Sosial-Ekonomi masyarakat di Kawasan Taman nasional Takabonerate Kabupaten Kepulauan selayar. Survey tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktual tentang kondisi sosial ekonomi dan persepsi masyarakat mengenai kondisi sumberdaya alam, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, pengetahuan mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta tingkat kepatuhan dan dukungan masyarakat dalam pengelolaan kawasan perlindungan laut. “Kami berharap hasil survey ini, diketahui pemerintah, agar ada kebijakan yang strategis dalam hal peningkatan sosial-ekonomi masyarakat di kawasan, pola kehidupan sosial yang mengakar butuh perhatiuan serius dari pemerintah. Kami berkesimpulan bahwa kondisi sosial – ekonomi inilah yang kemudian mengakibatkan upaya perlindungan dan konservasi kawasan kontraproduktif dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya”, hal tersebut diungkapkan Ibrahim, salah seorang yang tergabung dalam tim lapangan (surveyor) WCS yang telah melakukan penelitian selama kurang lebih dua pekan di Desa-desa kawasan taman Nasional / Taman Biosfer Dunia Takabonerate, di Benteng 06/04 kepada Media ini.
Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan bahwa untuk mendukung pengelolaan taman Nasional maka salah satu aspek yang perlu dipahami adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Taman nasional Takabonerate. Studi yang kami lakukan menggunakan metode pendekatan studi kasus (case study) dengan satuan kasus pemanfaatan sumber daya perikanan pesisir dan laut oleh masyarakat di enam desa lokasi studi yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi), wawancara semi terstruktur dengan informan kunci, survei kuesioner dan mengumpulkan data sekunder.
Berdasarkan rilis yang diberikan diperoleh informasi hasil dari Penelitian yang dilakukan terhadap Seluruh responden dalah bahwa seluruhnya beragama Islam dan sebagian besar adalah suku Bajo dan Bugis. Hampir semua (97,3%) responden berada pada kelompok usia produktif (15 – 64 tahun) dan didominasi oleh responden pada selang usia 25 – 34 tahun. Tingkat pendidikan responden didominasi oleh lulusan SD (39%) dan tidak tamat SD (36,8%). Komposisi tingkat pendapatan per bulan responden didominasi oleh kelompok dengan pendapatan antara Rp 1.551.840,00 – 3.879.600,00 dengan kategori tingkat kesejahteraan kelas menengah menengah (46,24%). Separuh responden (50%) memiliki 4 – 6 orang tanggungan (keluarga sedang).Sebagian besar (84,61%) pekerjaan responden adalah nelayan dan menggunakan satu jenis alat tangkap (83,52%). Sejumlah 16,48% responden yang menggunakan dua jenis alat tangkap. Alat tangkap utama yang digunakan adalah pancing tangan (65,16%), diikuti dengan liftnet (10,32%), gillnet (9,04%), panah (5,16%), longline (2,58%), pukat tepi (2,58%), gleaning (1,94%), bubu (1,29%), trolling (1,29%) dan tombak (0,65%). Sebagian besar (75,27%) armada yang digunakan adalah perahu dengan mesin dalam. Perahu dengan tonase 1-2 ton paling banyak ditemui (46,70%).
Efin Muttaqin koordinator Tim WCS menjelaskan bahwa dari semua desa yang ia kunjungi, tidak tersedia lahan pertanian, juga tidak tersedia pekerjaan alternatif non pemanfaatan SDA. Sehingga perpindahan pekerjaan (occupational mobility) bisa dikatakan tidak ada. Sejumlah 72,53% responden memiliki satu jenis pekerjaan. Ada 23,63% responden yang memiliki dua jenis pekerjaan. Sejumlah 2,20% responden memiliki 3 jenis pekerjaan dan 1,65% responden tidak memiliki pekerjaan. Ada 10,43% responden yang berganti pekerjaan dalam lima tahun terakhir. Sedangkan Persepsi responden terhadap hasil tangkapan ikan selama 12 bulan terakhir, sejumlah 49,45% responden menyatakan cukup, 31,32% menyatakan sedikit, 4,40% menyatakan banyak dan 1,65% menyatakan sangat sedikit. Sejumlah 13,19% responden menyatakan tidak tahu. Menurut responden kondisi terumbu karang saat ini adalah cukup (48,35%), baik (20,88%), rusak (18,13%) dan sangat rusak (1,65%).
Lebih lanjut Efin mengatakan bahwa tingkat Strategi adaptasi responden apabila hasil tangkapan berkurang hingga 50% adalah tetap mencari ikan seperti biasanya (80,77%) dengan pindah lokasi penangkapan (70,07%), ganti alat hanya (21%), mengurangi frekuensi melaut (22,45%), meningkatkan frekuensi melaut (8,84%), lainnya (4,76%) dan berhenti mencari ikan atau ganti pekerjaan (1,36%). Kondisi di semua desa adalah sama, bahkan di Pasitallu tidak ada responden yang akan berhenti melaut apabila hasil tangkapannya berkurang hingga 50%. Hal ini mengakibatkan kondisi stagnan ekonomi masyarakat di Kawasan Taman Nasional Takabonerate.
Dari hasil survey yang dilakukan, yang perlu menjadi perhatian Pemerintah adalah Kegiatan menangkap ikan yang merusak terumbu karang seperti penggunaan bom dan sianida yang masih berlangsung di hampir seluruh Desa, Tingginya ketergantungan nelayan terhadap juragan, Kurangnya kepatuhan pada aturan (rendah), Pengembangan wisata,Terbatasnya infrastruktur untuk meningkatkan nilai hasil tangkapan, Modal kurang, serta Strategi adaptasi masyarakat yang rendah karena keterbatasan pendidikan dan ketrampilan.
Ibrahim berharap bahwa upaya konservasi di kawasan taman nasional takabonerate, harus berbanding lurus dengan upaya peningkatan SDM dan Kesejahteraan masyarakat. Peningkatan Pendidikan, ketrampilan, ketersediaan modal ( Alat tangkap dan Kemudahan Kredit Lembaga Keuangan) serta mata pencaharian alternatif adalah langkah penting yang sudah harus ditempuh untuk meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat di Kawasan taman Nasional Takabonerate. (R3)