Dalam beberapa bulan terakhir pasca pelantikan Bupati dan Wakil Bupati terpilih khususnya di Kabupaten Kepulauan Selayar, di Redaksi Selayarnews, kami hampir belum pernah menulis berita aksi (Actions) dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tanpa harus didahului dengan keterlibatan Bupati atau Wakil Bupati terpilih dalam masalah tertentu.
Jangankan berita prestasi, termasuk berita klarifikasi dan sebagainya kami mendeteksi selalu ada peran Bupati secara langsung maupun tidak langsung yang membuat OPD bergerak atau memberikan klarifikasi.
Walaupun sebenarnya, dalam sistem birokrasi jika Pimpinan tertinggi harus turun tangan langsung untuk mengurus masalah teknis terkecil, itu adalah sebuah “tamparan” bagi penanggung jawab langsungnya.
Penulis, mencermati dalam beberapa Tahun Selayarnews berdiri dengan berbagai segmentasi pemberitaan tentang birokrasi, kami menyimpulkan adanya kebiasaan buruk yang membudaya. Yaitu orientasi kerja yang tidak kepada objek, melainkan kepada subjek.
Pada prinsipnya, kerja birokrasi berorientasi pada pelayanan dan pembangunan dengan sasaran Masyarakat. Baik pembangunan fisik maupun nonfisik, namun yang banyak terjadi adalah kerja birokrasi yang justru orientasinya adalah menyenangkan Pimpinan tertinggi, atau yang banyak dikenal dengan Cari-cari Muka (CCM).
Saya menyebutnya, Budaya CCM karena hemat kami ini sudah menggerogoti di banyak sisi Pemerintahan, bukan hanya di Selayar termasuk di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cari muka didefinisikan sebagai “berbuat sesuatu dengan maksud supaya mendapat pujian atau sanjungan (dari atasan atau orang lain)” . Dalam konteks birokrasi, perilaku ini memiliki beberapa ciri khas:
- Selalu ingin menjadi pusat perhatian dengan cara berbicara lebih keras atau melakukan tindakan mencolok
- Memuji secara berlebihan kepada atasan, seringkali dengan cara yang tidak tulus
- Selalu menyetujui pendapat atasan bahkan ketika ide tersebut kurang tepat
- Menunjukkan sikap berbeda ketika berada di depan atasan dibandingkan dengan rekan sejawat
- Suka menjatuhkan rekan kerja untuk terlihat lebih baik di mata atasan
- Mengambil kredit atas kerja tim seolah-olah keberhasilan tersebut sebagian besar adalah kontribusinya
Dari referensi yang penulis telusuri, Budaya “cari-cari muka” atau mencari perhatian atasan secara berlebihan ternyata memiliki dinamika yang unik ketika dikaitkan dengan budaya masyarakat Makassar dan Bugis yang menjunjung tinggi nilai-nilai Siri’ Na Pacce.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam referensi yang tersedia, kita dapat menganalisis fenomena ini melalui lensa nilai-nilai budaya lokal Sulawesi Selatan.
Masyarakat Bugis-Makassar memiliki falsafah hidup yang dikenal sebagai Siri’ Na Pacce , sebuah konsep kesadaran hukum dan nilai-nilai luhur yang dianggap sakral .
Siri’ (rasa malu) mengandung tiga makna mendalam:
- Rasa malu yang menjaga martabat
- Dorongan untuk membela kehormatan
- Motivasi untuk bekerja keras sebanyak mungkin
Sedangkan Pacce melambangkan:
- Rasa kebersamaan dan solidaritas
- Empati terhadap sesama
- Semangat pantang menyerah
- Rela berkorban untuk kepentingan bersama
Dalam konteks ini, seharusnya budaya Siri’ Na Pacce bertolak belakang dengan praktik cari muka karena:
- Menekankan prestasi nyata daripada pencitraan
- Menghargai kerja keras daripada manipulasi persepsi
- Menjunjung kehormatan diri daripada menjilat atasan
Kontradiksi dalam Realitas Birokrasi
Meski memiliki nilai luhur Siri’ Na Pacce, beberapa referensi menunjukkan gejala degradasi moral dalam masyarakat Bugis-Makassar kontemporer, Pengaruh budaya Barat yang mengikis nilai-nilai lokal, Pendidikan karakter yang kurang memperhatikan penanaman Siri’ Na Pacce
Hal ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai luhur Siri’ Na Pacce tidak selalu terimplementasi dalam praktik birokrasi sehari-hari, termasuk potensi munculnya budaya cari cari muka.
Berdasarkan nilai Siri’ Na Pacce, budaya cari-cari muka dapat dipandang sebagai Pelanggaran terhadap Siri’ karena Merendahkan martabat diri dengan menjilat dan Mengorbankan prinsip demi keuntungan pribadi.
Pengkhianatan terhadap Pacce karena Merusak solidaritas kolega, Mengutamakan kepentingan pribadi diatas kebersamaan. Bentuk de’ni gaga siri’na (kehilangan Siri’) yang dalam budaya Bugis-Makassar dianggap seperti binatang
Untuk mengatasi budaya cari muka, beberapa pendekatan berbasis Siri’ Na Pacce dapat diterapkan antara lain Revitalisasi nilai Siri’ dalam birokrasi dengan Menjadikan rasa malu sebagai pengendali perilaku tidak etis dan Menghargai prestasi nyata daripada pencitraan
Penguatan nilai Pacce dengan Membangun sistem reward berdasarkan kontribusi nyata dan Menciptakan lingkungan kerja yang kolaboratif
Integrasi Siri’ Na Pacce dalam sistem penilaian kinerja dengan Menambahkan indikator perilaku yang sesuai nilai budaya dan Memberikan sanksi sosial bagi pelaku cari muka
Revitalisasi nilai-nilai luhur ini dalam birokrasi dapat menjadi solusi kultural untuk mengurangi praktik-praktik tidak sehat tersebut. Seperti dikatakan dalam petuah Bugis: “Siri’mi Narituo” (karena malu kita hidup) , seharusnya rasa malu ini mencegah seseorang melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan martabat seperti mencari muka.
Dengan mengembalikan marwah Siri’ Na Pacce dalam praktik birokrasi, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang lebih sehat dan berorientasi pada prestasi nyata.
Budaya cari- cari muka telah menjadi “penyakit” yang menjangkiti birokrasi Indonesia, bertolak belakang dengan prinsip kerja berbasis kinerja.
Beberapa manifestasinya antara lain;
Promosi berdasarkan kedekatan bukan kompetensi. Banyak kasus menunjukkan bahwa promosi dalam birokrasi lebih ditentukan oleh seberapa dekat seseorang dengan atasan daripada prestasi kerjanya yang nyata .
Pembagian proyek yang tidak adil, yaitu Proyek-proyek strategis seringkali diberikan kepada mereka yang pandai “mencari muka” meskipun kompetensinya dipertanyakan .
Budaya ABS (Asal Bapak Senang) Bawahan cenderung melakukan apa saja untuk menyenangkan atasan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai profesionalisme .
Penilaian kinerja yang subjektif, yaitu Sistem penilaian seringkali lebih didasarkan pada persepsi atasan terhadap bawahan daripada indikator kinerja yang objektif dan Penyalahgunaan wewenang, Atasan yang tidak profesional mungkin memanfaatkan bawahan yang suka mencari muka untuk kepentingan pribadi .
Budaya cari muka ini bertentangan dengan prinsip kerja berbasis kinerja dan menimbulkan berbagai dampak negatif:
- Penurunan produktivitas : Energi yang seharusnya digunakan untuk bekerja produktif justru dihabiskan untuk “pencitraan” .
- Iklim kerja tidak sehat : Munculnya persaingan tidak sehat dan hubungan antar pegawai yang tidak harmonis .
- Diskriminasi terhadap pegawai kompeten : Pegawai yang berkinerja baik tetapi tidak pandai “mencari muka” seringkali terpinggirkan .
- Birokrasi tidak efektif : Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan subjektif bukan pertimbangan profesional .
- Moral kerja rendah : Pegawai yang melihat kesuksesan diraih melalui “cari muka” akan kehilangan motivasi untuk bekerja keras .
Beberapa faktor yang mendorong maraknya budaya cari-cari muka dalam birokrasi Indonesia:
- Sistem reward yang tidak jelas : Ketidakjelasan kriteria promosi dan penghargaan membuat pegawai mencari cara lain untuk diakui .
- Budaya paternalistik : Kecenderungan untuk patuh dan tidak kritis terhadap atasan yang masih kuat dalam budaya Indonesia .
- Kebutuhan validasi eksternal : Banyak pegawai memiliki rasa percaya diri rendah sehingga membutuhkan pengakuan dari atasan .
- Ketakutan akan kegagalan : Rasa takut dianggap tidak kompeten mendorong perilaku mencari pengakuan berlebihan .
- Lingkungan kerja kompetitif : Persaingan tidak sehat untuk mendapatkan perhatian atasan .
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:
- Menerapkan sistem penilaian kinerja objektif dengan indikator yang terukur dan transparan .
- Membangun budaya organisasi yang sehat yang menghargai prestasi nyata bukan pencitraan .
- Pelatihan kepemimpinan untuk atasan agar dapat menilai bawahan secara adil dan profesional .
- Mendorong komunikasi terbuka antara atasan dan bawahan untuk mengurangi kebutuhan “cari muka” .
- Penegakan disiplin terhadap perilaku tidak etis seperti menjatuhkan rekan kerja atau mengambil kredit kerja orang lain .
Menariknya, fenomena cari muka ini juga mendapat perhatian dalam perspektif Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Menjilat bukanlah termasuk karakteristik moral seorang mukmin” (Kanzul Ummal, hadits 29364) .
Ali bin Abi Thalib juga pernah berpesan: “Memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan” (Nahjul Balaghah, hikmah 347) . Islam mengajarkan bahwa kerja tulus dan ikhlas lebih mulia daripada mencari pujian.
Pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa Budaya cari muka dalam birokrasi Indonesia merupakan tantangan serius yang menggerogoti prinsip-prinsip kinerja profesional. Perlu upaya sistematis dan konsisten dari semua pihak untuk mengubah paradigma ini menuju birokrasi yang lebih sehat dan berorientasi pada prestasi nyata.
Seperti dikatakan Noto Susanto, “Kerja itu sewajarnya saja, karena loyalitas dan presentasi kerja akan kalah sama orang yang bermuka dua alias penjilat atau ABS (asal bapak senang)” .
Transformasi budaya birokrasi menuju sistem yang lebih meritokratis menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan profesional.
Tulisan ini dibuat dengan optimisme dan harapan yang tinggi terhadap Pemerintahan baru di Indonesia, khususnya Pemerintahan baru di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Benteng, 07 April 2025
Penulis:
Andre Suardi Piongdjongi
(Redaktur Selayarnews)