Penulis: Darmawang,S.Pd
Pimred Media Selayar News
Selayarnews.com- Siang itu, Selasa 03 Juli 2018, sekitar Pkl 12.45 wita kami dapat informasi dari salah satu penumpang KM Lestari Maju, bahwa kapal yang ditumpanginya akan tenggelam, kapal sudah dalam kondisi miring dan diarahkan sandar darurat di Pulau terdekat yakni di Pantai Pa’baddilang Kecamatan Bontomatene Kepulauan Selayar. Saat itu saya berada di sebuah Warkop di Kota Benteng. Kopi saya baru diseduh saat kabar tersebut kami terima, di Medsos juga sudah ramai diperbincangkan. Gambar-gambar KM. Lestari Maju dalam keadaan miring sudah mulai menyebar.
Saya menghubungi Bang Udhin, Abang sekaligus teman yang saya yakin akan sangat respek dengan informasi ini. Di balik telepon ia terdengar kaget mendengar, ia minta waktu menenangkan diri karena ternyata dering telepon saya yang membangunkannya dari tidur. “Ayo berangkat, saya tunggu di rumah! “, itu katanya di balik telepon setelah menyela nafas beberapa saat. Secangkir kopi yang biasanya saya habiskan dalam waktu 3 Jam , kali ini saya habiskan dalam 3 menit. KM. Lestari Maju diinfokan tenggelam, kata saya kepada rekan-rekan sembari pamit meninggalkan Warkop.
Kami pun berangkat, Bang Udhin memilih tak menggunakan mobil miliknya, ia meminjam Mobil Pick Up milik Kakaknya yang berada depan rumahnya. Kita gunakan mobil ini siapa tahu ada yang bisa kita angkut, Katanya. Mobil pun meluncur ke arah utara meninggalkan kota Benteng. Setelah sampai di Desa Parak ternyata kami sudah bergabung dalam rombongan mobil dari Tim Evakuasi Basarnas, beberapa mobil Polisi, Pemkab dan mobil -mobil warga atau mungkin keluarga korban. Ada puluhan mobil berada dalam deretan kami.
Sepanjang jalan banyak warga yang berdiri di depan rumah mereka, sebagian diantaranya meminta tumpangan, namun sulit untuk keluar iring-iringan mobil yang bergerak cepat. Barulah ketika kami sudah memasuki Dusun Polong beberapa orang naik ke mobil kami dengan tujuan ke TKP. Saya yang tadinya duduk di depan harus ke belakang, karena beberapa penumpang adalah perempuan. Berjarak sekitar 5 kilometer dari TKP, hujan deras kembali mengguyur. Kami basah kuyup, tapi tidak masalah karena ini di darat, di benak kami adalah para penumpang yang basah kuyup di Kapal atau bisa saja sudah bergelut melawan maut di laut. Sekitar pukul 02.30 wita, kami baru sampai di jalan Masuk Pa’baddilang. Paling tidak Itu pikiran kami, karena di sana ada korban yang baru dipapah dengan motor keluar. Polisi Lantas yang tadinya memimpin rombongan berhenti dan melarang mobil masuk. Beberapa mobil terus melaju, ke arah utara. Tidak boleh masuk untuk kelancaran Evakuasi dan mobil ambulance, Kata seorang Polisi kepada kami. Kemudian datang lagi warga menggunakan motor dari arah pantai, ia mengatakan bahwa kami salah, kami kemudian mengetahui bahwa jalan masuk ke Pa’baddilang bukan di situ. Ternyata jalannya masih di utara lagi. Kami pun beranjak lagi, mobil sudah terisi penuh penumpang di bagian belakang. Polisi Lantas juga bergegas menyusul. Benar saja jaraknya masih sekitar 500 meter dari tempat yang tadi.
Bang Udhin memilih memarkir mobil tidak jauh dari pintu jalan masuk. Polantas sudah terlambat karena kondisi jalan sudah mulai macet, mereka harus bekerja keras untuk mengatur kendaraan yang sudah terlanjur semberaut di Jalan yang lebarnya hanya sekitar 3 meter itu.
Bang Udhin memilih tinggal di luar, jarak ke pantai sekitar 1,5 KM ia sudah tak sanggup berjalan kaki sejauh itu apalagi dalam kondisi hujan. Ia memilih membantu petugas mencegah mobil lain masuk dan memastikan ada jalan untuk kendaraan Evakuasi. Saya pun berjalan dan mempercepat langkah kaki. Tidak terasa karena sudah banyak orang yang berjalan. Bahkan di tengah perjalanan kami temukan lagi sudah ada kendaraan yang lebih dulu masuk, terjadi lagi macet di jalan itu sekitar 50 meter. Saya dan warga lain menyelinap di sisi-sisi mobil yang sudah saling berhimpitan. Ini salah, ini akan menghalangi Evakuasi, pikir saya sambil berjalan. Tapi saya fokus untuk segera berjalan mencapai pantai.
Sambil berlari saya bertemu dengan beberapa rekan yang juga ikut berjalan. Begitu tiba, terlihat dari jauh sudah ada ratusan orang telah mencapai pantai terlebih dahulu, dari arah pantai sudah ada satu penumpang yang terlihat diangkat dari arah laut. Semua orang berkerumul, di arahkan ke baruga , Innalillah sudah meninggal. 1 korban ya, yang pasti sudah ada korban jiwa. Kejadian ini sudah menelan korban. Dari kerumunan orang sudah terdengar teriakan histeris. Mereka adalah keluarga korban yang sudah mengenali keluarganya. Dari jauh tempat saya berdiri ada anak bayi yang dilarikan, sudah meninggal. Perih, lagi tambah lagi korban. Sejenak saya ingat anak saya si Bungsu di rumah. Kira-kira usianya seperti itu. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya pun mendekat ke Pantai.
Kanda tolong catat Jumlah korban dan kalau bisa dicari identitasnya, dan dibuatkan Laporan, karena saya akan ke laut membantu evakuasi , Kata Fadly rekan kerja saya di Kantor yang saya temui di Pantai. Ia pun bergegas masuk ke laut bersama rekan-rekan Tim Evakuasi gabungan yang sudah tiba. Ya, saya kurang pandai berenang, ini yang harus saya cari tahu, pimpinan saya dan masyarakat butuh informasi.
Satu per satu korban berjatuhan, saya fokus mengidentifikasi korban meninggal. Mereka dikumpulkan di Baruga yang ada di Pantai Pa’baddilang. Butuh waktu lama mereka bisa dievakuasi karena hanya beberapa Ambulance yang sudah tiba dan sudah berangkat membawa korban kritis yang mungkin bisa diselamatkan. Pasti kemacetan di jalan masuk menjadi kendala, semoga petugas dan warga di luar bisa segera mengatasinya. Saya yakin sebenarnya semua datang karena peduli dan tak ada yang berniat menghalangi evakuasi. Ketidaksiapan dan ketidak tahuan prosedur evakuasi yang membuat ini terjadi.
Hujan yang terus turun sore itu cukup menghalangi evakuasi, meski sudah banyak Tim Evakuasi yang tiba tapi ombak yang cukup besar membuat tim belum bisa berbuat banyak. Banyak yang bisa diselamatkan, namun beberapa diantaranya dievakuasi sudah dalam keadaan tak bernyawa. Sekitar pukul 19.00 wita, kami telah mengidentifikasi sedikitnya 14 Korban meninggal. Saya melaporkannnya ke Pimpinan via sms karena di lokasi itu Signal internet sangat terbatas.
Perut saya mulai terasa lapar, saya baru ingat bahwa saya belum makan siang, segelas kopi itulah yang membuat saya bertahan. Saya memilih pulang, sudah banyak yang saya temani melakukan identifikasi. Semua korban MD dievakuasi ke Rumah Sakit KH. Hayyung di Benteng, sementara korban selamat dievakuasi ke Puskesmas Batangmata dan Parangia. Itu yang saya dengar dari petugas medis yang juga sejak siang sudah membantu memberikan pertolongan pertama untuk korban selamat.
Sayapun kembali berjalan keluar sambil mengetik laporan di Handphone, ada beberapa yang menunggu informasi lengkap termasuk dokumentasi, dari 14 Korban 3 diantaranya bukan orang selayar melainkan dari Bone dan Takalar, saya berkesimpulan bahwa ini bukan lagi musibah Selayar, ini akan menjadi tragedi Nasional. Pimpinan saya maupun dari rekan-rekan media serta masyarakat pasti butuh informasi. Ini tentang kecemasan, kekhawatiran, empati, ini tentang nyawa orang-orang yang kita sayangi.
Bang Udhin ternyata masih setia menunggu. Tak ada sapa sambutan hanya menggelengkan kepala, ia juga tak lekas ke Mobil. Kencang ini barang, harus ada yang bertanggung jawab”, katanya kemudian. Rupanya kami harus menunggu salah satu keluarga korban yang ikut di mobil kami tadi, Alhamdulillah selamat, kata Istri pak Kabid yang sudah lebih dahulu tiba. Tidak beberapa lama suaminya pun datang. Terlihat ia masih mengenakan seragam kantor, basah kuyup dompetnya pun ikut basah. Ada banyak kesedihan di sini ada banyak kepedulian, kecewa atau mungkin pertanyaan yang menumpuk yang belum terjawab. Kami pun bergegas, saya dan Pak Kabid serta beberapa yang lain tetap harus di belakang, mertuanya di depan bersama Bang Udhin.
Malam dan hujan yang tiba-tiba tambah deras seolah menghalangi kami pulang. Tapi kami sudah terlanjur basah, kami sudah terlanjur menggigil, dari luar hingga di kedalaman hati kami. Bagaimana jasad saudara-saudara kami yang beberpa hari lalu masih bercengkerama tiba-tiba tergeletak tak berdaya. Pakaian yang compang-camping raut muka memberitakan perjuangan sesaat sebelum mereka dijemput maut. Bukan di depan keluarga dalam tuntunan Dzikir, tapi di laut bergelut dengan gravitasi, air laut dan ombak yang siap menelan. Di Siang Naas itu, aku tiba-tiba saja membenci Ombak.
Dalam perjalanan, hujan memaksa kami terdiam, sementara pikiran belum beranjak dari Pa’baddilang. Yang terbayang di mataku muka balita perempuan yang pucat pasi, matanya terkatup, entah dia berjuang atau dalam buaian kuasaNya, tapi ia sedikit tersenyum. Saya sudah tidak sempat pamit dengan Fadly dan Toni yang seingat saya masih bertahan di pantai membantu evakuasi. Di Jalan saya juga ingat berpapasan dengan rekan-rekan dari Club Selam. Ya tentu mereka sangat dibutuhkan, hampir semuanya saya kenal bahkan Evhy, seorang perempuan juga turut serta dalam tim itu. Ia datang dengan seluruh kelengkapan selamnya. Mereka tiba sejak siang hingga malam, tentu itu akan sangat membantu rekan-rekan resque. Apalagi masih ada sekitar 50an Korban yang memilih tak meninggalkan Kapal Naas itu belum juga dievakuasi dari Kapal karena kerasnya ombak. Mereka dapat dilihat menunggu dan penuh harap dari kejauhan agar segera dievakuasi. Tak ada gerakan, mereka terlihat hanya terdiam menatap ke arah kami di pantai. Hujan deras tentu membuat mereka sangat kedinginan, mereka tentu menyaksikan di depan mereka para korban yang memilih melompat berjuang melawan kerasnya ombak di sekitar Pantai Pa’baddilang ini.
Saya juga sempat mewawancarai Rusdiamto, Masinis II KM. Lestari Maju, anehnya saya menemuinya sekitar Pkl 15.30 wita. Ia sudah diamankan Polisi di sebuah mobil, saya dipersilahkan untuk menemuinya diam-diam. Ia terlihat sehat, dapat bercerita dari awal keberangkatan di Pelabuhan Bira sekitar Pkl 10.00 wita pagi. Kapalnya mulai miring saat melewati Pulau Pasi atau sekitar 3 Jam mereka berlayar. Kapten memintanya untuk mengecek Palka bawah Kapal dan ternyata air sudah masuk, tak lagi terbendung dan pasti Kapal akan tenggelam. Kapten memutuskan untuk segera mengkandaskan Kapal tersebut ke pulau terdekat. Karena jika tidak laut dengan kedalaman 400 meter siap menelan Kapal berusia 30 tahun ini. Langkah Kapten berhasil ia dapat mengandaskan Kapal di karang depan Pantai Pa’baddilang. Rusdiamto mengatakan sudah memperingatkan penumpang untuk tidak melompat tapi banyak yang tidak mendengar atau mungkin tak menghiraukan, karena memang kapal sudah dalam keadaan miring.
Mobil sudah berhenti, penumpang lain sudah turun. Saya sudah bisa duduk di depan di samping Bang Udhin. Seketika jiwa saya kembali utuh, di depan hujan deras belum surut. Beberapa kali saya harus menyela embun di kaca depan mobil agar tak menghalangi pandangan Bang Udhin. Keras Bang! Sudah Ndre, belum waktunya cerita, sekarang saya fokus menyetir semoga kita sampai ke Benteng dengan selamat. Simpan HPmu, mari kita nikmati perjalanan ini, semoga bisa menghibur. Katanya.
Saya memilih mengikuti Bang Udhin, diam dan tak banyak bicara. Tapi diam ternyata membuat kita berpikir lebih baik. Mengapa tadi masinis mengatakan bahwa ia menghimbau agar penumpang tak melompat, lalu ia sendiri bagaimana ia sudah sampai di darat lebih awal kalau ia tidak melompat. Bagaimana penumpang tidak melompat sementara ia sendiri yang seorang perwira Kapal sudah melompat, bagaimana seorang menghimbau yang lain tak melompat sementara ia sendiri sudah lebih dahulu melompat ?
Sekitar pkl 20.00 wita malam kami sudah sampai di Benteng. Saya langsung ke rumah dan bergegas untuk mandi. Istri saya langsung menyiapkan pakaian dan makan untuk saya. Notifikasi di handphone yang sejak tadi saya silent sudah sangat banyak. Sambil makan saya mengajak dua anak saya itu ikut makan bersama. Inilah yang hilang, hal yang sangat berharga hilang dari saudara-saudara kita. Tak ada yang abadi, semua akan pergi tapi kita manusia tetap berharap agar apapun yang meninggalkan kita dapat pergi dengan cara yang layak. Karena kepergian ini adalah pergi yang tak pernah pulang.
Setelah beberapa saat istirahat, Saya menuju Kantor, rekan yang standby di rumah sakit melaporkan bahwa sedikitnya 18 orang sudah dinyatakan meninggal. Korban terus bertambah setiap jam. Korban selamat yang standby di Kapal saya dengar mulai dievakuasi sejak pukul 20.00 wita malam, mereka berhasil di Selamatkan. Evakuasi terkhir malam itu juga disaksikan langsung oleh Kapolda Sulsel, yang turust serta di Lokasi evakuasi hingga Pukul 04.00 wita dini hari. Beliau bahkan tidak tidur sepanjang malam dan menyempatkan diri mengunjungi beberapa korban sebelum meninggalkan Selayar pagi harinya.
Dari data kami,sebanyak 36 orang meninggal dunia dalam tragedi Naas Siang itu. Ada 87 Korban berhasil selamat atau bahkan lebih, karena beberpa korban selamat yang sehat banyak yang memilih langsung ke rumah. Yang pasti Korban terakhir dinyatakan hilang, adalah Aditya balita berusia 1 tahun asal Takalar yang hingga saat ini belum ditemukan dan dinyatakan hilang. Ibu dan kedua Kakaknya sudah ditemukan Meninggal Dunia. Dg. Gassing ayah Kandung yang hendak dijumpai mereka di Selayar hingga saat ini masih mengharapkan ada kabar tentang Aditya. Satu-satunya harapan yang tersisa dari alasan Dg Gassing merantau dan mencari nafkah di Selayar. Ia tak pernah menduga bahwa kabar rencana kedatangan istri dan anak-anaknya ke Selayar akan berakhir tragis. “Berat sekali beban Anda Daeng, Semoga Allah memberi kekuatan”.
Pasca kejadian berbagai aksi keprihatinan baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat. Bahkan Menteri Sosial RI terjun langsung ke Selayar dan memberikan santunan kepada Keluarga Korban. Tentu kita menghargai aksi kepedulian ini, tentu tak akan mampu menghapus duka atau mengembalikan yang telah pergi. Tapi paling tidak akan sedikit mengurangi beban. Betapa berharganya sebuah nyawa, di sana melekat jiwa, harapan dan impian. Di sana tersimpan Rahasia Allah, tentang masa depan, tentang impian-impian yang kadang membuat kita lupa. Yang pasti kita tidak akan pernah lupa, Siang Naas saat KM. Lestari Maju Kandas.
****
Benteng Kepulauan Selayar , 19 Juli 2018