Selayarnews.com – Batu berukir ini berada di Desa Balang Butung, Kecamatan Buki. Usianya diperkirakan ratusan tahun. Diduga daerah ini merupakan titik awal tibanya saudagar Tiongkok.
Menuju lokasi ini, jalan yang dilalui sedikit berliku. Naik kemudian turun. Rasa lelah nyaris tidak terasa. Sepanjang perjalanan pemandangan yang tampak sangat indah.
Sebagian besar jalan menuju lokasi ini sudah beraspal, tetapi sebagiannya lagi berupa bebatuan laut yang kasar dan berwarna putih kecokelatan. Batu-batu itu hanya dipadatkan.
Wisatawan yang menuju ke lokasi ini dapat menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua atau jalan kaki. Menggunakan sepeda motor memang jauh lebih mudah.
Akan tetapi, sepanjang lima kilometer jalan di Desa Balang Butung, Kecamatan Buki sewaktu-waktu licin saat musim hujan seperti saat ini. Jalan yang dilalui masih tanah. Warnanya cokelat.
Topografinya terjal menikung dengan jurang di sisi kiri. Karena itu, lebih baik berjalan kaki. Panoramanya memukau pastinya akan menghilangkan rasa lelah itu. Warna hijau, biru, merah berpendar dari kejauhan.
Ditambah pasir putih, pemandangan yang terlihat seperti lukisan. Sayang, lagi-lagi ulah manusia membuat perjalanan kali ini sedikit rusak. Banyak sampah ditemukan. Sedikit jorok dan masyarakatnya kurang peduli.
Sebelum mencapai tebing bertuliskan huruf mandarin itu, terlebih dulu melintasi sebuah muara. Muara ini merupakan pertemuan antara sungai dan laut. Banyak batu. Pemandangan yang terlihat mulai langka. Indah.
Abstraksi warna yang tidak biasa sedikit misterius dan terkesan magis. Mungkin karena tempat ini belum terlalu sering dikunjungi wisatawan. Setelah melintasi muara akan terlihat pajangan delapan huruf mandarin kuno.
Hanya berjarak beberapa meter dari lokasi, terlihat sebuah tanah lapang. “Menurut sejarah itu merupakan dermaga untuk berlabuhnya kapal-kapal pedagang tiongkok,” kata Kades Bontomarannu, Ramli.
Menurut cerita dikarenakan itu merupakan dermaga maka huruf-huruf mandarin itu menjadi tanda untuk memudahkan kapal sandar di dermaga. Itu hanya cerita.
Masyarakat sekitar juga ada yang menyebut ukiran itu tidak mengandung makna. Hanya sebuah fenenomena alam biasa yang terbentuk akibat hempasan air laut.
Layaknya tebing-tebing lainnya, batu lohe demikian tebing ini disebut tetap terlihat cantik. Huruf-hurufnya tersusun rapih. Bahkan ada tebing (yang tidak jauh dari ukiran) disebut warga sebagai bekas kapal Sawerigading.
Kisah Sawerigading memang erat kaitannya dengan tempat itu. Di sekitar lokasi ada makam putri keduanya. Putrinya itu bernama, We Tenri Dio. “Warga setempat yakin batu itu bukan buatan alam, tetapi peninggalan ratusan tahun lalu,” kata warga desa Balang Butung, Febry.
Sayang fakta-fakta itu masih menyisakan misteri. Belum ada upaya maksimal pemerintah untuk menggali makna yang terpendam di daerah itu. “Batu Lohe masih dikaitkan sebagai bagian dari peradaban masa lampau,” kata Staf Dinas Pariwisata Kepulauan Selayar, Ernawati.
Indikator untuk itu banyak diutarakan Arkeolog Universitas Hasanuddin ini. Seperti, muara dan penemuan keramik Tiongkok dalam jumlah yang banyak di sekitar lokasi.
Di bagian atas muara ada bekas lokasi permandian biksu. Makanya dugaan tulisan itu memiliki makna dan sejarah di wilayah pantai timur sangat kuat di masa peninggalan budaya pra Islam.
Juga, di sekitar lokasi banyak ditemukan fosil. Fosil berupa parang berbekas di atas batu.
“Belum ada data baru masih sebatas survey. Ini sudah saya diskusikan dengan teman arkeolog di Makassar. Diduga huruf Mandarin kuno,” kisahnya. Kini huruf-huruf itu masih bertengger di tebing dan menantang arekolog dan sejarawan untuk mengungkap maknanya.
(Sumber Berita : Fajar Online)