Selayarnews.com – Kekayaan dan potensi sumber daya alam yang Kabupaten Kepulauan Selayar memang tidak ada habisnya. Selain memiliki potensi Pariwisata dan Perikanan ternyata Kabupaten yang berjuluk “Tanadoang” ini memiliki kekayaan sumber daya alam dibidang pertanian dan perkebunan.
Potensi besar yang dimiliki oleh Kabupaten yang terletak di Ujung Selatan Pulau Sulawesi ini selain penghasil Kelapa, Kenari, Kemiri, Jambu Mente juga penghasil Pala, Cengkeh, Vanili, kakao dan Kopi.
Berdasarkan data Badan Statistik tahun 2017 Kabupaten Kepulauan Selayar mampu menghasilkan 2 Ton Kopi/tahun. Ada 3 Kecamatan penghasil Kopi di Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu kecamatan Bontomanai, Bontomatene, dan Bontosikuyu. Adapun jenis kopi yang dihasilkan adalah jenis kopi Robusta hal ini dilihat dari ketinggian tempat tumbuh dan bentuk biji kopi yang dihasilkan.
Berbicara tentang kopi Kabupaten Kepulauan Selayar juga memiliki sejarah panjang dan cukup menarik untuk dibahas, Hal inilah yang membuat team redaksi Selayarnews.com mencoba untuk menelusuri jejak sejarah Kopi yang ada di Selayar. Kami mengunjungi Kampung Gantarang Keke Desa Bonea Makmur Kecamatan Bontomanai yang menurut cerita orang orang, didaerah ini masih banyak tumbuh Pohon Kopi.
Menempuh perjalanan sekitar 40 menit dari Kota Benteng, Team kami menemui Bapak Nur Kamar Kepala Desa Buki Timur yang masih memiliki kebun Kopi di Dusun Gantarang. Setelah shalat jumat Desa Buki Timur kami pun diantar ke Kebun Kopi milik pak Nur Kamar.
Dalam perjalanan Beliau banyak bercerita tentang pohon kopi dan kebun Kopi yang ada di Desa Boea Makmur ini. Kopi sudah dikenal dan ditanam oleh masyarakat Gantarang Keke sejak dulu kala, bahkan kopi tumbuh di daerah sekitar perkampungan. Kopi bisa tumbuh subur Belakang rumah warga sehingga warga lokal menyebutnya Kopi Cap Boko Sapo (Kopi Cap Belakang Rumah). Warga juga sudah terbiasa mengolah Biji Kopi menjadi segelas kopi yang nikmat.
Istilah Kopi Cap Boko Sapo sangat populer dikalangan warga dusun ini, ketika seseorang berkunjung ke rumah dan ditawari minum maka akan menjadi jawaban adalah Kopi Cap Boko Sapo, selain karena tumbuh di belakang rumah aroma kopi asli selayar ketika disangrai didapur masyarakat maka aromanya akan tercium sampai di pinggir jalan sehingga warga biasa akan meminta untuk dihidangkan kopi Cap Boko Sapo.
Satu hal yang ironi dari seputar Kopi cerita di Gantarang Keke adalah masyarakat sudah mulai tidak mau lagi menanam kopi di Kebun meraka karena mereka menganggap kopi tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak ada pasar untuk kopi di Selayar.
“Saya dulu menanam kopi pada saat tanaman cengkeh terserang hama penyakit dan harga cengkeh tidak laku dipasaran, namun sejak harga cengkeh kembali naik maka pohon kopi sudah banyak yang ditebang kembali karena hasil biji kopi yang dihasilkan tidak ada yang membeli dan kami tidak tau harus memasarkan dimana, namun masih ada beberapa pohon yang belum kami tebang tapi tidak terurus dengan baik dan biji kopinya dibiarkan saja tidak pernah diurus apalagi dipanenen” Ujar Nur Kamar.
Budaya minum kopi dan Kopi Cap Boko Sapo mulai ditinggalkan oleh masyarakat dusun ini dan tergantikan dengan kopi sachet yang instan dengan berbagai varian rasa. Tentu ini menjadi ironi ditengah menggeliatnya bisnis warung kopi di Kota Benteng namun belum ada warung kopi yang menggunakan bahan baku kopi lokal Selayar.
Satu hal yang menjadi catatan penting dalam perjalanan kami kali ini adalah Budaya menanam kopi dan Kopi Cap Boko sapo harus diselamatkan, Petani Kopi harus segera diyakinkan, dibukakan pasar dan tentu tanggung jawab bersama untuk membina petani kopi agar produk mereka mampu bersaing, masuk ke kedai kedai kopi dan dinikmati warga Selayar. Jika tidak, maka kopi Cap Boko Sapo akan tinggal cerita, Geliat Kedai Kopi dan Kafe di Kota Benteng tidak mampu menghidupkan petani lokal.
Tidak terasa perjalanan kami telah sampai di kebun Kopi milik pak Nurkamar, Masih ada beberapa pohon kopi tumbuh dibawah lebatnya pohon cengkeh dan berbuah lebat diantara semak semak yang mulai menutupi, Pohon kopi ini seolah olah bercerita Ironi kopi lokal yang mati ditanah sendiri.
Kami memanen Buah Kopi yang sudah merah dan melanjutkan perjalanan ke Puncak Pusera yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari kebun Kopi. Kami beristirahat sejenak sambil menikmati kelapa muda yang baru dipetik oleh warga lokal. Puas menikmati keindahan Puncak Pusera kami kembali ke Kampung Gantarang Keke. Kami beristirahat sejenak di rumah warga dan disuguhi secangkir kopi, saya berharap masih ada sisa sisa Kopi Cap Boko Sapo untuk dihidangkan kepada kami namun yang terhidang didepan kami adalah aroma kopi sachet yang hitam pekat. Kopi sachet yang terhidang didepan kami segera kami habiskan dan beranjak kembali ke Kota Benteng karena hari sudah mulai gelap sambil membawa beberapa kilo biji kopi lokal hasil panen kami.
Kopi tidakakan pernah habis jika diceritakan, setiap perjalanan selalu menemui kopi dengan sejuta cerita. Kopi bisa menjadi teman sejati tapi juga bisa menjadi teman yang mengkhianati, ketika perlakuan yang keliru pada kopi maka lidah kita pun akan terkhianati. Akan tetapi jika kita perlakukan kopi selayaknya kopi tanpa berfikir akan untung rugi maka dia akan setia tanpa ada batasan bahkan sampai mati, kopi masih tetap setia menemani.
-Selamat hari Kopi Internasional 1 Oktober 2017-
*****
PenulisÂ
DarmawangÂ
Pimpinan Redaksi Selayarnews.com