Oleh: Rahmat Hidayat
Tiap lima tahun sekali, mereka yang mengaku “anak daerah” pulang dengan semangat ingin memimpin, tapi setelah pilkada usai dan suaranya kalah, mereka kembali merantau, meninggalkan kampung halaman dalam ketidakpastian. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan politisi yang setengah hati, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah ambisi mereka untuk membangun kampung atau sekadar mencari panggung? Atau jangan-jangan, mereka juga bingung?
Apakah kamu akrab dengan hal ini? jas mahal, senyum penuh harapan, dan tagline kampanye yang menggetarkan: “Saya pulang untuk membangun tanah kelahiran!” Jika kamu mengetahui orang-orang tersebut atau bahkan di daerah kalian sendiri terdapat siklus lima tahunan serupa. Sampaikan pesan ini kepada mereka.
Jadilah Pemimpin Bukan Pengunjung
“Hadir” mungkin adalah kata yang penting bagi seorang pemimpin, namun yang lebih penting adalah “menetap”. Belum lama ini saya mendaras salah satu bukunya Dale Carnegie & Associates (1993) yang diberi judul, The Leader In You. Dia menekankan pentingnya bagi seorang pemimpin untuk memahami kebutuhan, aspirasi, dan nilai-nilai masyarakat yang akan atau sedang mereka pimpin, sehingga ide yang mereka punya menjadi bagian seutuhnya dari kehidupan masyarakat. Jadi bagi mereka yang hobi pulang tiap lima tahun sekali hanya untuk menjadi peserta pilkada camkan ini dengan baik-baik: masyarakat bukan hanya sekedar angka dalam kotak suara (mengenyampingkan orang yang membarternya dengan beberapa lembar uang merah). Mereka butuh pemimpin yang benarbenar ada, bukan hanya lambaian dari balik mobil, bukan hanya baliho berukuran 3 x 4 meter, tapi dalam kehidupan sehari-hari ide yang kau punya bisa menetap.
Dikaitkan dengan politik, Dalam pandangan Hannah Arendt(1958) di The Human Condition, politik adalah ruang bagi seseorang untuk bertindak dan menunjukkan tanggung jawabnya terhadap kehidupan bersama. Dalam hal ini, pemimpin seharusnya hadir secara nyata dan terus-menerus, bukan hanya muncul saat kampanye saja lalu menghilang setelah pemilihan selesai. Ketika pemimpin tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, mereka gagal menjalankan tugas utamanya dan hanya menjadi pengunjung politik. Sebaliknya, pemimpin yang terus ada di tengah masyarakat menunjukkan komitmen yang tulus. Mereka yang benar-benar peduli pada pembangunan tidak akan berhenti berjuang, meskipun mereka kalah dalam pemilihan.
Belajarlah Jadi Oposisi
Memang tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi, apalagi ada tawaran dari pemenang kontestasi untuk bergabung dalam koalisi. Namun sejarah menunjukkan bahwa oposisi yang kuat dapat memberikan dampak signifikan dalam tata kelola pemerintahan. Salah satu contohnya adalah peran Mahatma Gandhi di India sebelum kemerdekaannya. Meski tidak memiliki jabatan resmi, Gandhi menjadi simbol oposisi terhadap kolonialisme Inggris dengan menawarkan solusi nyata melalui gerakan Swadeshi dan Ahimsa.
Di Indonesia, sebelum fungsinya dirusak oleh jokowi, peran oposisi sudah lama tercermin dalam sosok seperti Mohammad Hatta, yang tidak hanya mengkritisi kebijakan pemerintah pasca-kemerdekaan, tetapi juga memberikan pandangan alternatif yang berdasar pada prinsip ekonomi kerakyatan. Hatta tidak pernah menjadikan kekuasaan sebagai satu-satunya medium untuk berkontribusi, melainkan terus hadir dalam diskursus publik, baik melalui tulisan maupun aktivitas politiknya.
Ini adalah pelajaran penting bagi mereka yang mengaku peduli pada kampung halaman. Kekalahan dalam pilkada bukan akhir dari perjuangan; justru itu bisa menjadi awal untuk membuktikan komitmen. Dengan tetap berada di tengah masyarakat, memahami kebutuhan mereka, dan menawarkan solusi, seorang kandidat dapat menunjukkan bahwa niat mereka tulus.
Tugas seorang pemimpin bukan hanya menyusun program kerja, tetapi juga menjadi bagian dari realitas masyarakat yang sedang atau akan mereka pimpin. Tentunya Kritik kepada pemerintah terpilih haruslah disampaikan oleh orang menganggap dirinya setara dan bisa untuk menduduki posisi serupa. Dibutuhkan gerakan nyata bukan sekedar kritik semata yang melibatkan masyarakat, dan itu tidak mungkin dilakukan jika merekakembali lagi bersembunyi di perantauan.
Mungkin ini sifatnya sedikit menghibur, namun Sebuah studi yang dilakukan oleh Chaterjee & Hadi (2020), Local Leadership and Political Engagement: A Study in Rural Indonesia dalam Journal of Political Studies menunjukkan bahwa masyarakat lebih menghargai pemimpin lokal yang konsisten hadir dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari daripada mereka yang hanya muncul saat momen politik tertentu. Kehadiran fisik pemimpin menciptakan rasa kepercayaan dan koneksi emosional yang mendalam dengan masyarakat. Jadi dibanding pergi lagi, belajarlah jadi oposisi.