Selayarnews – Sejumlah kepala desa di Kabupaten Kepulauan Selayar mengeluhkan kebijakan pemerintah daerah yang menunda pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) tahap II tahun 2024, akibat masih rendahnya realisasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) oleh warga desa.
Padahal, menurut mereka, seluruh persyaratan administratif untuk pencairan telah dipenuhi sesuai ketentuan terbaru dari Kementerian Desa PDTT.
Kebijakan penundaan tersebut tertuang dalam surat resmi dari Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar yang ditujukan kepada para camat dan Lurah. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa hingga tanggal 28 Mei 2024, realisasi penerimaan PBB-P2 secara kabupaten baru mencapai 10,42 persen dari target yang ditetapkan. Oleh karena itu, Bapenda meminta agar para camat mengambil langkah-langkah percepatan, termasuk dengan tidak memberikan rekomendasi pencairan ADD dan Dana Desa (DD) kepada desa yang belum mencapai minimal 50 persen realisasi PBB dari pagu.

“Kami sudah lengkapi semua syarat pencairan ADD sesuai regulasi pusat. Kalau sekarang dipersulit gara-gara PBB warga, lantas bagaimana kami jalankan roda pemerintahan di desa? Apakah harus kami bayar PBB pakai Dana Desa?” keluh seorang kepala desa di wilayah daratan Selayar yang enggan disebutkan namanya.
Instruksi dari Bapenda tersebut menyebut secara tegas bahwa penundaan pencairan ADD dilakukan sebagai bentuk komitmen bersama dalam mendorong optimalisasi pendapatan daerah, khususnya dari sektor PBB-P2 yang menjadi salah satu sumber pendanaan pembangunan. Namun kebijakan ini menimbulkan perdebatan, karena pengaitan antara realisasi pajak warga dengan pencairan dana desa dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam regulasi pusat.
Menurut UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendes PDTT Nomor 2 Tahun 2024, Dana Desa hanya boleh digunakan untuk kepentingan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, serta program prioritas nasional. Tidak ada ketentuan yang memperbolehkan penggunaan Dana Desa untuk membayar pajak milik pribadi warga. Dengan demikian, jika desa terpaksa menggunakan Dana Desa untuk membayar PBB hanya demi mencairkan ADD, maka hal itu berpotensi melanggar aturan dan bisa dikenai sanksi administratif.
Sementara itu, dari sisi mekanisme pencairan ADD, syarat utama hanyalah kelengkapan dokumen administratif, laporan penggunaan tahap sebelumnya, dan perencanaan anggaran desa. Tidak ada ketentuan dalam surat edaran Kementerian Desa yang mensyaratkan capaian PBB sebagai indikator teknis pencairan. Artinya, intervensi dalam bentuk penundaan pencairan ADD oleh Bapenda bisa dinilai tidak sesuai kewenangannya, kecuali jika telah diatur melalui peraturan daerah atau keputusan resmi kepala daerah.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar mengenai dasar hukum pengaitan antara pencairan ADD dan realisasi PBB tersebut.
Beberapa kepala desa kepada Selayarnews, berharap agar kebijakan ini ditinjau ulang, mengingat ADD merupakan dana operasional penting untuk pelayanan publik dan roda pemerintahan di tingkat desa. Mereka mendesak agar pemerintah daerah fokus pada pendekatan persuasif terhadap wajib pajak, bukan justru membebani desa dengan konsekuensi administratif yang bukan tanggung jawab langsung aparat desa.
(Red)