Oleh: Sunaryo, Kepala KPPN Benteng
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan kas negara, pemerintah pusat menggagas cara baru pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN melalui penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP). Cara ini diharapkan dapat mengurangi kas menganggur (idle cash) di rekening bendahara pengeluaran dan menekan risiko penggunaan transaksi tunai. Penggunaan KKP juga sejalan dengan perkembangan teknologi transaksi keuangan yang semakin elektronis dan cashless (non tunai). Keuntungan lainnya adalah, dengan penggunaan kartu kredit, pengeluaran pemerintah sesungguhnya dibiayai terlebih dahulu oleh bank, sehingga pemerintah dapat memperoleh output tetapi dapat menunda pengeluaran sampai jatuh tempo pelunasan tagihan kartu kredit kepada bank. Daya tarik lainnya adalah bank penerbit KKP juga memberikan fasilitas tambahan bagi pemegang KKP seperti gratis masuk lounge di bandara. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi saker untuk ikut program KKP.
Tata cara penggunaan KKP diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2019. Penggunaan KKP ini diterapkan untuk pembayaran yang menggunakan mekanisme Uang Persediaan (UP). Untuk saat ini, dengan alasan efektifitas dan efisiensi, satker yang memiliki UP sampai dengan Rp20 juta tidak diwajibkan mengikuti program ini, artinya satker tersebut boleh menggunakan UP tunai sepenuhnya. Pengecualian juga diberikan kepada satker Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DK/TP) karena alasan going concern, yaitu belum tentu pada periode berikutnya satker tersebut menerima alokasi DIPA. Pengecualian juga dapat diberikan apabila di daerah tersebut tidak terdapat penyedia barang/jasa yang menerima pembayaran dengan KKP melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) atau terdapat penyedia barang/jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit melalui mesin EDC tetapi mengenakan biaya tambahan (surcharge).
Uang Persediaan dalam bentuk KKP (UP KKP) ditetapkan dengan porsi 40%, artinya 60% masih boleh menggunakan UP Tunai. Proporsi ini dapat diubah sesuai kebutuan pengguanaan dan frekuensi penggantian UP Tuna/UP KKP dan ketersediaan mesin EDC. Ke depan, dengan semakin berkembangnya transaksi non tunai, tidak menutup kemungkinan proporsi penggunaan UP KKP akan meningkat. Untuk wilayah Kepulauan Selayar misalnya, dari 26 satker mitra KPPN Benteng yang secara nilai UP memenuhi syarat untuk wajib ikut program UP KKP adalah 16 Satker. Namun terdapat 3 satker dari 6 satker yang nilai UP nya di bawah Rp20 juta tetap menyatakan ikut program UP KKP, sehingga pada saat ini terdapat 19 satker yang ikut program UP KKP. Sementara 7 satker yang tidak ikut program KKP adalah 1 satker BUN Penyalur DAK Fisik dan Dana Desa (tidak mengelola UP), 3 satker DK/TP, dan 3 satker yang nilai UP nya di bawah Rp20 juta.
Salah satu tantangan dalam implementasi KKP ini adalah penerbitan KKP itu sendiri. Di dalam PMK Nomor 196/PMK.05/2016 ditetapkan bahwa Bank Penerbit KKP sudah harus menyelesaikan verifikasi atas Surat Permohonan Peneribitan KKP dan seluruh dokumen pendukungnya paling lambat 6 hari kerja sejak Surat Permohonan diterima. Penerbitan KKP harus dilakukan paling lambat 6 hari berikutnya setelah hasil verifikasi terpenuhi. Selanjutnya Bank Penerbit menyapaikan KKP kepada KPA melalui sarana tercepat paling lambat 1 hari kerja berikutnya setelah KKP diterbitkan. Pada kenyataannya, penerbitan KKP ternyata memakan waktu yang lebih lama dari yang diperkirakan, sehingga sampai dengan 22 September 2019 masih terdapat 4 dari 19 Satker wajib KKP dan telah menandatangani PKS sebelum bulan Juli 2019 belum menerima KKP. Berdasarkan hasil konfirmasi kepada BRI Cabang Selayar, seluruh berkas penerbitan KKP dari satker sudah diteruskan ke kantor pusat BRI, dan penerbitan KKP terus dikejar, namun karena terdapat ribuan KKP yang harus diterbitkan oleh kantor pusat BRI untuk seluruh satker yang bermitra dengan BRI, dibutuhkan waktu yang lebih lama dari yang diperkirakan untuk proses verifikasi sampai penerbitan kartunya. Apalagi kalau pada saat verifikasi ditemukan berkas yang kurang lengkap atau kurang sesuai.
Terlambatnya penerbitan KKP, secara teoritis dapat mempengaruhi kinerja pelaksanaan anggaran satker, mengingat satker telah menihilkan porsi UP KKP nya sejak pertengahan Agustus 2019. Artinya, satker yang belum menerima KKP hanya bekerja dengan 60% UP tunainya. Namun, berdasarkan pemantauan pada aplikasi OM SPAN berdasarkan data per 13 Septermber 2019, rata-rata realisasi anggaran triwulan III untuk seluruh satker pemerintah pusat di Kepulauan Selayar misalnya, mencapai 63,32% dari target 60%. Satker yang realisasinya di bawah 50% disebabkan oleh masih rendahnya progress pekerjaan fisik (belanja modal) yang pembayarannya menggunakan mekanisme LS, artinya tidak berkaitan dengan penggunaan UP. Hal tersebut bisa terjadi karena selama KKP belum terbit atau belum efektif penggunaannya, Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan meminta satker untuk memaksimalkan penggunaan UP Tunai dan meningkatkan frekuensi revolving-nya sehingga penyerapan tidak terganggu.
Walaupun sebagian besar satker telah memegang KKP, namun masih sedikit satker yang menggunakan KKP. Berdasarkan pantauan pada aplikasi OM SPAN, masih sedikit Satker yang melakukan pertanggungjawaban penggunaan UP KKP. Untuk Kepulauan Selayar misalnya, sampai dengan 23 September 2019 baru 1 Satker yang telah mengajukan SPM GUP KKP ke KPPN Benteng. Masih rendahnya penggunaan KKP disebabkan oleh beberapa faktor, pertama pemahaman merchant atas ketentuan penggunaan KKP, kedua adalah peran Bank dalam penyediaan mesin EDC dan pembinaan kepada merchant. Berdasarkan hasil diskusi yang dengan satker serta pengamatan di lapangan, merchant di Kepulauan Selayar rata-rata masih mengenakan biaya tambahan (surcharge) terhadap penggunaan kartu kredit termasuk KKP. Sementara sesuai PMK 196/PMK.05/2018, surchage tidak dapat dibebankan ke APBN. Hal ini menimbulkan keraguan bagi satker untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan KKP. Akhirnya, KKP digunakan hanya untuk pembayaran belanja yang bisa dilakukan secara online dan pajaknya tidak wajib dipungut oleh Bendahara seperti pembayaran telepon dan jasa angkutan udara serta akomodasi hotel untuk perjalanan dinas.
Biaya tambahan (surcharge) yang dibebankan oleh merchant kepada pembeli berawal dari pengenaan merchant discount rate (MDR) yaitu jumlah potongan uang yang dikenakan bank kepada merchant dari setiap transaksi yang dilakukan dengan mesin electronic data capture (EDC). Terkait dengan MDR ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) pada tanggal 21 Juni 2017 dan PADG No.19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional pada tanggal 20 September 2017. Secara umum, MDR yang ditetapkan lebih efisien dibandingkan skema sebelum adanya Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yaitu sebesar 0-1 % dari nominal transaksi. Untuk transaksi On Us seluruh transaksi dikenakan 0,15% (kecuali bantuan sosial, transaksi pemerintah, dan donasi sosial 0%). Sedangkan untuk transaksi Off Us merchant regular dikenakan 1%, kategori pendidikan 0,75%, SPBU 0,5% dan untuk bantuan sosial, transaksi pemerintah, dan donasi sosial tetap gratis atau 0%.
Pembeli seharusnya tidak dikenakan biaya MDR. Apabila MDR dikenakan kepada masyarakat, maka disebut surcharge dan itu secara tegas dilarang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu. Peraturan BI nomor 11/11/PBI/2009 menyebutkan bahwa Acquirer wajib menghentikan kerja sama dengan Pedagang yang melakukan tindakan yang dapat merugikan. Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan/gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge). Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Anggoro Eko Cahyo mengatakan bahwa masyarakat selaku konsumen harus berani menolak jika dikenai biaya transaksi tambahan saat melakukan transaksi kartu debit dan kartu kredit di merchant melalui mesin EDC.
Walaupun rata-rata merchant di Kepulauan Selayar masih mengenakan surcharge, hal tersebut tidak menyurutkan semangat satker untuk menyukseskan program penggunaan KKP. Harapannya, disamping terus memperbanyak penggunaan mesin EDC, Bank juga diharapkan terus memberikan edukasi bahkan sanksi terhadap merchant yang melanggar ketentuan mengenai surcharge sesuai ketentuan yang berlaku. Edukasi kepada merchant tentu saja merupakan tanggung jawab semua stakeholders termasuk KPPN, satker, pemerintah daerah, dan masyarakat. Merchant harus mendapatkan informasi yang benar mengenai ketentuan penggunaan kartu kredit dan konsekuesinya, walaupun hal ini memang menjadi tantangan tersendiri untuk kota kecil seperti Kepulauan Selayar dimana kebutuhan dan budaya transaksi non tunai belum berkembang sepesat di kota-kota besar.
Tantangan lainnya adalah penggunaan KKP untuk pembayaran yang pajaknya wajib dipungut oleh Bendahara Pemerintah sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/PMK.03/2003. Dari hasil pengamatan di lapangan, rata-rata pedagang tidak bersedia atau masih terdapat kesulitan dalam sistemnya ketika satker hanya akan membayar dengan KKP sebesar nilai sebelum pajak. Hal ini menyebabkan KKP cenderung digunakan hanya untuk transaksi Rp1 juta ke bawah dan pembayaran yang menurut ketentuan pajaknya tidak wajib dipungut oleh Bendahara Pemerintah. Ketentuan terkait perlakuan pajak atas transaksi dengan pemerintah ini harus dipahami baik oleh Instansi Pemerintah selaku wajib pungut maupun merchant selaku penyedia BKP/JKP. Untuk eduksi kewajiban perpajakan bagi Bendahara, KPPN dapat bekerja sama dengan KP2KP untuk memberikan pemahaman mengenai kewajiban perpajakan bagi satker. Dengan demikian, diharapkan satker dapat membantu menjelaskan dengan baik ketentuan perpajakan atas transaksi dengan pemerintah kepada penyediaan barang/jasa. Disamping itu, Instansi vertikal Ditjen Pajak di daerah juga diharapkan dapat memberikan edukasi kepada penyedia BKP/JKP terkait perlakuan pajak atas penjualan BKP/JKP kepada instansi pemerintah serta pembukuan dan pelaporannya.
Akhirnya, berbagai manfaat yang dapat diperoleh pemerintah dari penggunaan KKP hanya dapat diperoleh secara optimal jika berbagai tantangan di atas dapat diselesaikan. Untuk itu, dibutuhkan peran dari semua stakeholders sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Yang pasti, perkembangan teknologi keuangan terus menggiring cara bertransaksi yang semakin digital, efisien, dan cashless, dan semua harus bersiap untuk itu, tidak terkecuali pemerintah.