Selayarnews-Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi akibat dampak bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam. Menurut Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 12 dari 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak berbagai jenis bencana.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas sembilan bencana alam utama, yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan kekeringan. Indonesia juga terpapar bencana nonalam, baik bencana akibat kegiatan eksploitasi alam yang berlebihan seperti banjir dan kebakaran, maupun bencana pandemi dan/atau epidemi seperti pandemi Covid-19 di 2020.
Antara tahun 2000-2016, rata-rata kerugian ekonomi langsung berupa rusaknya bangunan dan bukan bangunan akibat bencana alam yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya mencapai sekitar Rp22,8 triliun. Sementara dari tahun 2017-2019, kerugian ekonomi akibat bencana berturut-turut diperkirakan sebesar Rp30 triliun, Rp100 triliun dan Rp75 triliun. Di masa mendatang, kerugian akibat bencana akan semakin membesar apabila tidak dilakukan upaya mitigasi, kesiapsiagaan, dan transfer risiko. Dalam hitungan Kementerian Keuangan bersama Institut Teknologi Bandung dan Bank Dunia, kerugian ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia sangat besar, dengan proyeksi kerugian rata-rata tahunan sebesar Rp15-20 triliun setiap tahunnya dalam 50 tahun ke depan. Disisi lain Bencana nonalam seperti pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia dan Dunia.
Kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk bencana dengan dampak yang tinggi cukup terbatas. Dalam lima tahun terakhir, Pemerintah menyediakan dana cadangan bencana sebesar Rp5 triliun sampai dengan Rp10 triliun. Sementara kerugian akibat bencana alam besar, seperti gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 mencapai Rp51,4 triliun. Pemerintah juga harus membatalkan atau menunda program pembangunan yang sudah direncanakan, apabila anggarannya harus direalokasi untuk pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sementara kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan anggaran cadangan untuk bencana juga sangat kecil. Pemerintah Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah misalnya, mengalokasikan Dana Tidak Terduga (DTT) sebesar Rp2 miliar di tahun 2019 dan 2020. DTT pun tidak seluruhnya dicadangkan untuk respon terhadap kejadian bencana alam. Untuk pembangunan kembali infrastruktur yang rusak akibat bencana, pemerintah daerah mengandalkan hibah dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya dan masyarakat, termasuk bantuan internasional.
Kesenjangan pendanaan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pemerintah terpapar risiko fiskal yang tinggi akibat bencana. Oleh karena itu, alternatif pendanaan yang berkelanjutan dengan melibatkan sumber pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperlukan agar Indonesia dapat memiliki ketahanan fiskal atas bencana. Pemerintah harus melakukan investasi untuk mengurangi risiko bencana, baik investasi untuk kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, investasi untuk akumulasi dana cadangan dan investasi dalam memindahkan risiko bencana kepada pihak lain.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, merespon tantangan tersebut dengan mengeluarkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) pada tahun 2018. Strategi ini diluncurkan untuk mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang tangguh dalam menghadapi bencana dan terjaminnya keberlangsungan berbagai program pembangunan. Strategi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pendanaan yang besar, terencana, tepat waktu dan sasaran, berkelanjutan, yang dikelola dengan transparan untuk melindungi keuangan negara.
Salah satu pilar dalam Strategi PARB adalah pembentukan Pooling Fund Bencana (PFB). Inisiatif ini adalah salah satu prioritas dalam pelaksanaan Strategi PARB. PFB adalah inovasi Pemerintah untuk melindungi keuangan negara dari dampak yang diakibatkan oleh bencana. PFB merupakan mekanisme mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana untuk pembiayaan penanggulangan bencana.
PFB dimaksudkan untuk mendukung Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (Chief Financial Officer/CFO) dalam menyediakan dana penanggulangan bencana yang memadai. PFB akan dikelola oleh sebuah unit pengelola dana di lingkungan Kementerian Keuangan dengan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) pengelola dana. Selanjutnya, pada tahun 2020, sesuai dengan arahan Menteri Keuangan pada Nota Dinas Bersama Kepala BKF dan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor ND-352/KF/2020 dan ND-349/PR/2020 tanggal 16 September 2020, sekaligus hasil Rapat Pimpinan Terbatas Kementerian Keuangan tanggal 17 Desember 2020, Menteri Keuangan memberikan arahan bahwa dalam pengelolaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana (PFB) bentuk kelembagaan yang dipilih adalah Badan Layanan Umum dan pengelolaannya diserahkan kepada BLU BPDLH. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pengelolaan lingkungan hidup selaras dan mendukung upaya penanggulangan bencana.
Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) didirikan berdasarkan amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. BPDLH kemudian ditetapkan menjadi instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) dengan status Badan Layanan Umum Penuh berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 779/KMK.05/2019 tentang Penetapan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup pada Kementerian Keuangan sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. BLU BPDLH memiliki tugas melaksanakan pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup.
Dana Bersama Penanggulangan Bencana merupakan salah satu Program Investasi Pemerintah di sektor Lingkungan Hidup. Dana tersebut berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN 999.03) yang Pejabat Pengguna Anggarannya adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Adapun Indikator Kinerja dari Kegiatan Program tersebut adalah dengan tersalurkannya dana bersama penanggulangan bencana yang dalam pelaksanaannya berbentuk penyaluran investasi kepada Badan Layanan Umum yang dalam hal ini adalah BLU Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
Dana Bersama penanggulangan bencana atau yang disebut Pooling Fund Bencana (PFB) sasaran penerimanya (penerima manfaat) disalurkan untuk:
- Kementerian/Lembaga yang gedung perkantoran, gedung balai kesehatan dan gedung balai pendidikannya telah diasuransikan terhadap risiko bencana;
- Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Kelompok Masyarakat dalam hal adanya peningkatan jumlah kegiatan mitigasi bencana;
Selain penerima manfaat diatas, kegiatan pendanaan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh BLU Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dapat memberikan impact sebagai berikut.
- Berkurangnya risiko yang dihadapi APBN terhadap dampak bencana, khususnya risiko kerusakan BMN yang dikelola oleh K/L
- Berkurangnya kebutuhan pendanaan rekonstruksi BMN yang rusak akibat bencana dari APBN
- Meningkatkan ketangguhan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana
- Memperdalam pasar keuangan, khususnya pasar asuransi di dalam negeri dengan adanya belanja asuransi bencana yang dilakukan oleh BPDLH
Adapun sumber pendanaan dari Pooling Fund Bencana (PFB) adalah sebagai berikut:
- Alokasi APBN
PFB berasal dari alokasi investasi (below the line) kepada BPDLH dan/atau alokasi belanja (above the line) untuk disalurkan oleh BPDLH. Alokasi Investasi (below the line), yaitu Dana yang berasal dari alokasi investasi ditujukan untuk dikembangkan oleh BPDLH melalui instrumen investasi. Hasil dari investasi ini digunakan untuk mendanai operasional BPDLH dan kegiatan penanggulangan bencana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Alokasi Belanja (above the line), yaitu Dana yang berasal dari alokasi belanja bersumber dari alokasi belanja pada APBN untuk penanggulangan bencana yang tidak terserap, untuk kemudian menjadi pendapatan BPDLH yang dapat dikelola dan/atau digunakan pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
- Kontribusi Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah menyediakan dana penanggulangan bencana sesuai kapasitas fiskalnya melalui BPDLH, baik yang bersifat wajib ataupun sukarela. Kontribusi Pemda kepada PFB akan dicatat sebagai hibah Pemda. Kontribusi kepada BPDLH akan dikembangkan sehingga memberikan nilai tambah dibandingkan apabila dana tersebut ditempatkan dalam alokasi cadangan di masing-masing APBD. Dana dari Pemda ini dapat dipakai imbal hasil dan pokoknya untuk mendanai kegiatan penanggulangan bencana.
- Dana Pihak Ketiga
BPDLH dapat menerima hibah dan mengelola bantuan dari pihak ketiga, seperti masyarakat, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, pemerintah/lembaga asing dan organisasi internasional. Dana tersebut dapat berupa hibah, baik yang terikat maupun tidak terikat, trust fund, dan bantuan bencana.
- Pembayaran Klaim (Payout) Asuransi
Dana ini berasal dari Perusahaan Asuransi Pembayaran klaim atau payout dari premi asuransi yang didanai dari BPDLH dan akan diterima oleh BPDLH, untuk kemudian digunakan untuk mendanai pembangunan kembali aset yang menjadi tertanggung dalam kontrak asuransi tersebut.
Dana yang telah dihimpun tersebut, dikembangkan oleh BPDLH melalui instrumen investasi jangka pendek dan/atau jangka panjang sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan pengembangan dana, BLU BPDLH akan menerapkan proses bisnis PP63/2019 tentang Investasi Pemerintah, yaitu dengan menunjuk manajer investasi. BPDLH akan menyusun kebijakan investasi yang berisi terkait dengan komposisi instrumen investasi dalam portfolio yang mencerminkan selera risiko dan target imbal hasil yang diharapkan. Dalam melakukan pengelolaan investasi, manajer investasi akan mendapatkan fee dari dana yang dikelolanya. Untuk pengembangan dana dalam bentuk investasi jangka panjang, BLU BPDLH harus menjadi Operator Investasi Pemerintah (OIP).
Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup akan menyalurkan dana untuk penanggulangan bencana di tahap prabencana, darurat bencana dan pascabencana. Pengertian ketiga periode tersebut merujuk kepada definisi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan turunannya. Dalam menyalurkan dananya, BPDLH dapat menggunakan prinsip- prinsip sebagai berikut:
- BPDLH memberikan hibah kepada pemda yang wilayahnya terdampak bencana. Hibah dapat diberikan dalam bentuk hibah uang tunai terikat dan/atau hibah uang tunai tidak terikat.
- Dana dari BPDLH disalurkan kepada K/L terkait penanggulangan bencana, seperti BNPB, Kementerian PUPR, dan Kementerian Sosial.
- Dana dari BPDLH disalurkan kepada kelompok masyarakat yang telah diverifikasi oleh pemda. Pemda dan K/L terkait membentuk Tim Fasilitator untuk mendampingi kelompok masyarakat dalam menggunakan dana dari BPDLH, misalnya untuk membangun rumah dengan konsep pembangunan berbasis komunitas.
- Dana BPDLH disalurkan untuk pendanaan kegiatan yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa yang ditunjuk oleh pemda atau K/L.
- Penyaluran dana pada tahap darurat bencana akan mengacu kepada peraturan yang berlaku, yaitu PP 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana dan Peraturan Kepala BNPB.
- Penyaluran dana pada tahap prabencana dan pascabencana dilakukan setelah adanya usulan dari pemda dan/atau Kementerian/Lembaga. Usulan tersebut kemudian diverifikasi dan dinilai oleh BNPB, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, untuk kemudian ditetapkan oleh Kepala BNPB dan disampaikan kepada Menteri Keuangan.
BPDLH dapat menyalurkan dana dalam rangka perlindungan Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD) atau masyarakat dengan mentransfer risiko akibat bencana kepada pihak ketiga melalui asuransi. Pendanaan transfer risiko dapat dilakukan dalam bentuk pembelian premi asuransi. Namun demikian, BPDLH tidak bertindak seperti perusahaan asuransi. Dalam pengelolaan transfer risiko ini, BPDLH bekerja sama dengan K/L dan pemda membangun profil risiko dan menentukan prioritas aset publik dan masyarakat yang perlu dilindungi dengan pendanaan dari BPDLH.
Dalam membeli premi asuransi, BPDLH bertindak sebagai pihak yang mendanai pembelian premi oleh K/L atau pemda sebagai pengelola aset publik. K/L, pemda atau BPDLH dapat bertindak sebagai pemegang polis (policy holder). Ketika terjadi pembayaran klaim asuransi atas aset publik yang rusak akibat bencana, maka dana dari klaim tersebut akan diterima oleh BPDLH. Dana pembayaran klaim akan digunakan untuk membiayai keseluruhan atau sebagian pembiayaan rehabilitasi atau rekonstruksi aset publik yang rusak, melalui mekanisme sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam hal penyaluran dana bersama penanggulangan bencana ini masih belum dapat dilaksanakan dikarenakan peraturan teknis (Peraturan Menteri Keuangan) sebagai turunan dari Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 masih belum diterbitkan, sehingga perlu segera disusun peraturan teknis terkait.
Pengelolaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB) merupakan salah satu solusi dalam rangka perlindungan Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD).
Penulis : Rully Budy Setyawan (Kasi PDMS KPPN Benteng)